Lihat ke Halaman Asli

Mozaik Pancasila

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14331384311357193761

[caption id="attachment_421734" align="alignnone" width="759" caption="musuh kita masih tetap sama"][/caption]

Berbicara tentang pancasila tentunya kita tidak lepas dari sosok besar Soekarno. Tepat di hari ini, 70 Tahun yang lalu beliau berpidato didepan sidang istimewa BPUPKI menjawab pimpinan sidang, Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat atas pertanyaannya – apa yang akan menjadi dasar untuk Indonesia merdeka kelak – Soekarno menawarkan lima konsep dasar yaitu: Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi Mufakat, kesejahteraan sosial, yang didahului oleh Ketuhanan. Kemudian konsep tersebut disempurnakan oleh para founding father kita menjadi pancasila yang kita kenal saat ini.

Pancasila adalah sosio-nasioalisme dan sosio-demokrasinya Indonesia, yang dikenal juga sebagai penjabaran dari konsep marhaenisme (deskritif pribumi indonesia dan juga paham untuk menyelamatkan kaum kecil). Kedua paham tersebut menghendaki nasionalisme dan demokrasi berdiri didalam masyarakat dengan serta merta menyelamatkan masyarakat tesebut secara keseluruhan. Nasionalisme model ini berbeda dengan nasionalisme borjuis barat dan juga berbeda dengan perjuangan kelas yang dicetuskan oleh Marx yang kemudian menjadi mesin penggerak keadilan di Eropa. Nasionalisme kita adalah perjuangan keseluruhan masyarakat Indonesia menuju keadilan yang sama rasa dan sama bahagia.

Konsep persamaan rasa dan bahagia tersebut sesungguhnya adalah melayani masyarakat secara keseluruhan, menambal sulam permasalah sosial ekonomi d an penajaman kedewasaan bangsa untuk mewarnai kebahagiaan politik. Hal itu bukanlah berarti diatur terlebih dipaksa oleh sifat-sifat otoriteris, melainkan hanya dipimpin. Kematangan kita di uji ketika kita lelah bermusyawarah dengan tidak menyentuhnya lagi dan lebih memilih pada hal-hal praktis yang bernilai instan.

Perekat dan tantangan kita

Dewasa ini kita merasakan, globalisasi dengan ombaknya yang maha dasyat menghantam bumi marhaen kita, bahkan berlipat-lipat lebih keras dari sebuah meriam. Demokrasi kita yang agung tersebut melompat terlalu jauh dari rumahnya seakan menyamarkan pandangan dan membuat mata kita menjadi buta. Demokrasi yang mengandalkan tenaga rakyat dalam perkembangannya telah mengkotak-kotakan rakyat kita, alasannya bukan lagi karena ideologis melainkan karena urusan lama “sajian perut” yang dibumbui bunga-bunga politik.

Harus kita akui saat ini barisan marhaen kita menjadi kabur, tercerai berai. Persatuan kita mulai terlepas dari induknya. Kita hanya sibuk melakukan penguatan-penguatan sistem politik yang ada hubungannya dengan kepemiluan dan kekuasaan. Hal yang paling sering dilupakan dan seharusnya perlu dikuatkan adalah politik budaya, sebab segi yang paling efektif dan efesien untuk menghancurkan sebuah bangsa adalah dengan merusak budayanya, sehingga bangsa tersebut tidak lagi mempunyai kepribadian dan tuntunan hidup.

Diusia yang ke 70 tahun pancasila tentu akan semakin banyak mendapatkan tekanan dan tantangan. Tugas kita adalah selalu ingat dan mengingatkan untuk tetap setia berdiri diatas pancasila dalam melakukan renovasi bangunan kenegaraan kita kedepan. “Desawarnana” dan “Sutasoma” bukanlah perekat bangsa yang mati, ia merupakan nyawa dari jiwa Indonesia yang hidup meski berganti orang, berganti massa, dan berganti zaman. Sebab itulah pancasila disebut dan dimaksudkan sebagai dasar dan bukanlah tiang penyangga.

*ND.Kaliwattu

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Bung Karno

Email: kaliwattud@gmail.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline