Hujan yang terus turun hampir setiap hari membuat saya teringat akan malam ketika "tanggal merah" pada Tahun Baru Imlek. Entah darimana asalnya, sejak kecil saya selalu tahu bahwa kaum Tionghoa selalu berharap bahwa hari akan hujan setiap kali Tahun Baru Imlek. Hujan menandakan rejeki yang akan datang di tahun tersebut katanya -- semakin lebat maka semakin banyak rejeki yang akan datang. Entahlah, semoga saja itu artinya tahun ini rejeki akan cukup banyak bagi kita semua.
Anyway, di malam hari libur Tahun Baru Imlek itu, kakang mas pacar begitu penasaran dengan Kampoeng Cina dan bersikeras ingin mengunjungi tempat itu. Saya yang sudah pernah ke sana dan tahu seberapa padatnya tempat itu ketika hari libur menjawab ogah-ogahan, "Mau apa kesana? Ga ada yang bisa dibeli juga. Padat juga."
"Mau jalan-jalan aja. Kan aku belum pernah ke sana."
Setengah hati saya kemudian mengiyakan keinginannya untuk menemaninya ke sana, "Mau pergi jam berapa?"
"Nanti aja jam 19.00."
"Mau lihat apa malam-malam ke sana? Udah tutup lah."
"Masa Imlekan, Kampoeng Cina tutup cepet sih."
"Ya udah kalo ga percaya."
Singkat cerita, kami berdua benar-benar berangkat ke Kampoeng Cina di Kota Wisata sekitar pukul 19.00. Perjalanan kami tempuh dengan sepeda motor lantaran lokasi tempat tujuan kami berada tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Hanya butuh 1 jam perjalanan ke tempat itu. Dan benar saja, Kampoeng Cina sudah sepi pengunjung, tidak ada lagi toko yang buka pada jam tersebut.
"Aku bilang juga apa. Enggak percaya sih."
"Kita jalan-jalan ke tempat lain aja yuk."