Lihat ke Halaman Asli

Program 100 Hari Antara Citra SBY dan Realitas

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gebrakan awal kabinet bersatu II sby adalah program 100 hari, namun kira-kira kita tinggal menunggu 20 hari lagi genap sudahlah 100 hari itu. Program ini memang sepertinya sebuah cara untuk membangkitkan kembali rasa percaya diri sby bahwa citranya akan lebih baik dibandingkan masa pemerintahan lima tahun sebelumnya. Untuk mengukur apa yang telah dicapai pada program 100 hari itu memang sepertinya tidak ada, sehingga terasa sulit menemukan apa-apa yang telah dicapai dalam 100 hari itu. Mungkin sebagai rakyat biasa hanya berpikir dalam 100 hari itu sembako akan tersedia dengan murah, atau tidak terjadinya lagi pemadaman bergilir. Namun hal ini sepertinya 1000 hari ke depan pun, realitasnya malah sebaliknya, yang ada hanya berupa retorika politis belaka, sehingga pemerintah akan berkata, sembako sebenarnya tidak naik melainkan distribusi yang tersendat dan adanya pelaku pasar yang melakukan penimbunan barang. Pertanyaanya sederhana lalu apa yang telah dilakukan agar hal itu tidak terjadi, sehingga sembako tetap tersedia, aman dalam jangkaun rakyat kecil. Demikan pula retorika sringnya mati lampu, bukan karena pemadaman bergilir, yang ada adalah menyalakan secara bergilir, woalah….sami mawon toh…..itulah ilustrasi bagaimana retorika politis itu dibangun demi menjaga sebuah citra. Belum terbayang apa yang telah dicapai dalam program 100 hari, pemerintah sudah heboh akan menaikkan gaji di 12 kementrian dengan retorika perbaikan remunerasi gaji alias menaikkan gaji pejabat negara termasuk mentrinya dan alasan reformasi birokrasi. Belum apa-apa malah para menteri dan pejabat Negara mendapat mobil dinas baru seharga 1, 3 milyar per unit. Apakah ini dampak program 100 hari, ataukah hanya membangun citra pemerintah agar nampak lebih hebat dan kaya dari rakyatnya sendiri sebagai pembayar pajak dan pemerintah sebagai pemungut pajak. Rencana kenaikan gaji (remune­rasi) itu disampaikan menkeu Sri Mulyani, menurutnya. pemerintah tidak akan merevisi jadwal pelaksanaan reformasi birokrasi, termasuk konsekuensinya terhadap anggaran, yakni adanya remunerasi. Sejumlah kementerian/kembaga bersama Menteri PAN saat ini sedang mereview isi reformasi birokrasi tersebut. Kedua belas lembaga tersebut adalah Kejaksaan Agung, Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan HAM, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menko Kesra, Kantor Menko Polhukam, Kantor Menneg PAN, Kantor Menneg PPN/ Bappenas, Kepolisian Negara RI, Lembaga Administrasi Negara, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dia juga menjelaskan, reformasi itu diterapkan sebagai upaya per­baikan institusi dalam hal pelayanan publik. “Dengan tata kelola yang baik maka kualitas pelayanan semakin baik,” kata Menkeu. Sekadar catatan, reformasi birokrasi meliputi penataan remunerasi dan jaminan kesehatan bagi pejabat negara. Tahapan reformasi yang dilakukan meliputi bagaimana optimalisasi tugas dan fungsi instansi, perbaikan proses bisnis, peningkatan manajemen sumber daya manusia, dan perbaikan struktur remunerasi. Menanggapi hal itu, Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan, mengatakan, kenaikan gaji atau remunerasi tidak akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan reformasi birokrasi, remunerasi tidak berkorelasi positif dengan kinerja yang mereka tunjukkan. Misalnya, Mahkamah Agung (MA) yang sudah melakukan remunerasi, pada kenyataannya sampai saat ini masih belum terbuka soal biaya perkara, dan itu menjadi sebuah catatan. Selain itu, Depkeu juga yang sudah melakukan remunerasi belum bisa meningkatkan kinerja. Ini bisa dilihat saat KPK melakukan pemeriksaan mendadak ke Bea Cukai. Ketika itu, KPK masih menemukan adanya praktik suap. Ini memperlihatkan tidak ada korelasi pemberian gaji yang besar dengan perilaku korupsi birokrasi. Korupsi yang ada di birokrasi adalah soal keserakahan, bukan korupsi karena lapar.. Berdasarkan penelitian FITRA, pada APBN 2010 terjadi kenaikan belanja pegawai sebesar 21 persen atau Rp 28 triliun. Pada APBN 2009 Rp 133,7 triliun, sedangkan pada APBN 2010 Rp 161,7 triliun. Sementara, anggaran belanja untuk subsidi dan bantuan sosial turun. Belanja subsidi berkurang 10 persen atau Rp15,5 triliun, dari Rp 159,9 triliun menjadi 144,3 triliun. Belanja subsidi yang dikurangi adalah obat generik yang dihapus dan biaya pupuk dikurangi Rp 7,1 triliun. Selain itu, belanja bantuan sosial juga berkurang 11 persern atau Rp 8,6 triliun. Dari Rp 77,7 triliun pada 2009, menjadi Rp 69 triliun pada 2010. Pengurangan terjadi pada anggaran Jamkesmas dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Artinya, kenaikan gaji menteri dan remunerasi di 12 kementerian/lembaga telah mengorbankan anggaran subsidi dan bantuan sosial dan orang miskin. APBN 2010 sekarang terlalu berat untuk belanja pegawai dan bayar utang pokok. Klaim pemerintah jika orang miskin berkurang juga perlu dipertanyakan. Secara angka mungkin berkurang, namun secara real bagaimana. penghapusan anggaran subsidi dan bantuan sosial juga secara otomatis akan menambah jumlah orang miskin. Dengan kondisi bugjedting APBN 2010 yang demikian, maka program 100 hari itu semakin dipertanyakan realitasnya, karena sebenarnya tidak didukung dalam anggaran yang lebih mengarah pada peningkatan kesejahteraan rakyat yang selalu didengung-dengungkan di jajaran kabinet sby. Pemberlakuan perdagangan bebas AFTA dengan negara Asean dan cina dimulai awal 1 januari ini tentu tidak didukung oleh kondisi APBN 2010. Subsidi pupuk dikurangi jelas sektor pertanian kita akan keteter dengan AFTA dengan melimpahnya import di sektor pertanian, belum lagi beberapa persoalan sosial lain seperti PHK karena industri lebih save menggunakan tenaga kontrakan dibanding buruh tetap organik perusahaan, dan ini akan terjadi untuk mengurangi jaminan sosial bagi para buruh pabrik industri dan manufaktur. Sudah siapkah program 100 hari mengantisipasi itu ? Antara citra dan realitas program 100 hari semakin dipertanyakan, yang jelas secara kasat mata 100 hari ini hanya akan habis karena kasus KPK bibit-candra dan skandal bank century. Ke dua kasus ini malah telah melambatkan penuntasan kasus-kasus korupsi yang cenderung dipetieskan baik yang ditangani oleh KPK maupun Polri dan kejagung, tetapi ujung-ujungnya mereka malah dapat kenaikan gaji, kecuali KPK tidak dapat renumerasi itu. Belum lagi kasus-kasus prita yang melelahkan, kasus BLBI yang tidak jelas, anggodo dan seterusnya. Namun demikian sby masih lantang ingin tampil di depan di dalam pemberantasan korupsi dan memasukkannnya dalam program 100 hari. Selama 75 hari masa pemerintahan kabinet bersatu II sby, citra itu digugat kembali, terguras karena kasus KPK dan skandal bank century yang berlarut-larut. Apakah dengan itu sehingga media banyak memberitakan bahwa sby kembali membangun citranya di dalam pemakaman wafatnya Gus Dur dan mencarinya di kebun binatang ragunan. Wallahualam. SALAM DIALOG




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline