Lihat ke Halaman Asli

Boediono; Dalih Sistemik Opo Ngawur Cak

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_44307" align="alignleft" width="338" caption="Ilustrasi"][/caption] Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Anwar Nasution dan mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah serta hasil audit BPK, mengemukakan pendapat yang sama di depan pansus century bahwa bank century tidak berdampak sistemik. namun setelah itu, juga di depan pansus, boediono seperti pendapat sby dan sri mulyani sebelum-sebelumnya membantah pendapat itu. Boediono malah menguatkan pendapatnya bahwa dampak sistemik bank century karena adanya kemiripin kondisi krisis global 2008 dengan krisis ekonomi pada tahun 1998, alasan ini ternyata membuat para anggota pansus tidak berkutit. Benarkah dalih boediono ini ? Menurut Direktur Center of Banking Crisis (CBC) Deni Daruri penjelasan yang disampaikan Boediono bahwa krisis finansial yang terjadi tahun 2008 lalu memiliki tingkat kerusakan yang sama dengan krisis tahun 1997-1998 adalah bagian dari upaya untuk mengaburkan berbagai fakta yang memperlihatkan bahwa ada kepentingan jangka pendek di balik penggelontoran dana talangan untuk Bank Century. Menurut Boediono, dalam keadaan krisis, bank sekecil apapun harus diselamatkan. Bank Century memang hanya memiliki kontribusi sebesar 0,5 persen terhadap perbankan nasional. Tetapi sekecil apapun sebuah bank, bila tidak diselamatkan akan menciptakan efek domino yang begitu parah. Boediono ketika diperiksa juga membandingkan dengan perlakuan pemerintah terhadap 16 bank yang ditutup menyusul krisis ekonomi satu dasawarsa lalu. Kata Boediono, secara total, besar ke-16 itu hanya sekitar dua persen. Boediono juga menyebutkan ketika krisis sepuluh tahun lalu nilai tukar uang rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 17 ribu. Sementara tahun lalu mencapai Rp 12 ribu. Nah, menurut Deni, inilah salah satu fiksi yang direka oleh Boediono. Menurutnya, krisis tahun 1997-1998 sama sekali berbeda dengan krisis 2008. Di tahun 1997-1998 dampak sistemik dilahirkan oleh situasi makro yang sudah tidak mendukung lagi. Kunci utamanya terkletak pada kejatuhan rezim Orde Baru dan pengunduran diri Soeharto, sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya. Tanpa penutupan ke-16 bank itu, dampak sistemik memang akan terjadi. Apalagi pertumbuhan pembangunan ketika itu sudah minus 32 persen. Keadaan itu jelas berbeda dengan keadaan di tahun 2008. Angka pertumbuhan jelas tidak mencapai titik minus. Benar bahwa nilai tukar rupiah mencapai Rp 12 ribu. Tetapi yang perlu diingat, angka itu naik dari sebelumnya sekitar Rp 9 ribu. Berbeda dengan saat krisis 1997-1998 dimana nilai tukar rupiah anjlok dari sekitar Rp 2 ribu menjadi Rp 17 ribu. Alasan krisis sistemik yang tetap digunakan mantan Gubernur BI Boediono untuk membela diri di depan Pansus Centurygate dinilai sebagai cerita fiksi yang berlebihan alias ngawur. Mungkin yang menjadi tanda tanya besar menguji dalih boediono itu barangkali kita perlu gambaran gimana sih perbedaan dan persamaan krisis global 2008 dan krisis ekonomi tahun 1998, iya bukan ? PURWANTINI dan PURWANTININGSIH telah melakukan Studi Komparasi Krisis Ekonomi Tahun 1998 dengan Krisis Global 2008 di Indonesia dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta, Desember 2008. Karya tulis ilmih ini bertujuan untuk mengkomparasikan krisis ekonomi tahun 1998 dengan krisis global di Indonesia. Metode penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data digunakan teknik literatur. Metode analisis data digunakan metode deduktif dan induktif. Kesimpulan dari karya tulis ilmiah ini, antara lain terdapat kesamaan dan perbedaan antara krisis ekonomi tahun 1998 dengan krisis global tahun 2008. Kesamaan dari kedua krisis tersebut antara lain (1) kedua krisis tersebut merupakan konsekuensi adanya ekonomi global, karena adanya saling ketergantungan ekonomi dan finansial antar negara; (2) dampak krisis akan mengakibatkan turunnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing; dan (3) dampak krisis akan berimbas kepada sektor ekonomi yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Perbedaan antara krisis ekonomi dan krisis global antara lain : (1) krisis ekonomi tahun 1998 bersifat multidimensional yaitu krisis ekonomi, politik, sosial, ideologi, pertahanan dan keamanan sedang krisis global lebih cenderung pada krisis finansial dan ekonomi; (2) krisis ekonomi berawal dari krisis mata uang Bath-Thailand sedangkan krisis global berawal dari macetnya Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Sub Prime di Amerika Serikat; (3) krisis ekonomi tahun 1998 berimbas pada tindakan anarkisme masyarakat sedangkan krisis global tidak; serta (4) krisis ekonomi menyebabkan rakyat menuntut pergantian kepemimpinan, sedangkan krisis global tidak. Dari hasil studi komparasi ini dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi atau moneter di tahun 1998 diakibatkan oleh fluktuasi pertukaran nilai mata uang antar negara, sehingga alasan sentimen pasar sangat psikologis, adalah George Soros (klik namanya untuk tahu siapa dia) pialang bisnis valas terkemuka dunia yang menjadi tokoh penting runtuhnya perekonomian Indonesia masa itu. Saya masih ingat waktu itu saya punya tabungan 500 ribu di BNI bisa dapat bunga 50 ribu lebih sebulan. Nilai rupiah saat itu dari Rp 2.000,- per satu US dollar kemudian melonjak menjadi 15 ribu per satu US dollar. gila kan. coba bandingkan saat krisis global 2008 hanya dari 9 ribu menjadi 12 ribu, seingat saya tahun 2006 sebelum krisis global juga pernah mencapai tembus 12 ribu. Krisis moneter ini diperparah oleh kondisi di dalam negeri saat itu yaitu paceklik dan kemarau yang berkepanjangan dan krisis politik mosi tidak percaya terhadap soeharto, sehingga secara psikologis sentimen pelaku pasar uang baik di dalam negeri dan luar negeri sangat negatif terhadap perekonomian indonesia. bandingkan pada krisis global 2008 negara kita aman-aman saja, malah berhasil mencapai swasembada beras. krisis ini juga tidak banyak imbasnya terhadap moneter dalam negeri karena krisis global hanya berawal di AS, bukan karena berawal krisis mata uang tapi runtuhnya bisnis sektor rill di AS. kepanikan psikologis di dalam negeri terhadap pelaku pasar tentu tidak terlalu besar, lha wong krisis itu di luar negeri, masak sih pengusaha-pengusaha besar kita atau nasabah kakap mau melarikan duitnya ke luar negeri, seperti kekuatiran boediono kalau bang siantury di tutup dan perlu di bailout, aneh kan ? Dengan demikian pendapat boediono bahwa bang siantury perlu ditolong karena imbas krisis global juga tergolong ngawur, pertanyaannya sederhana kenapa bang siantury saja yang mengalami kesulitan, terdapat 15 bank papan atas yang tergolong sistemik seperti danamon dan mandiri, tetapi tak satu pun dari bank itu mengalami kesulitan. Sebelumnya Bank Century diselamatkan karena dikhawatirkan dapat mengakibatkan 23 bank ikut terkena dampak sistemik, sehingga bank itu mendapat kucuran dana oleh BI dan pemerintah sebesar Rp6,7 triliun melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), seperti pengakuan boediono di depan pansus. Padahal saat itu (Desember 2008) belum ada kesepakatan DPR dengan pemerintah soal bank gagal berpotensi sistemik, namun BI mendahului keputusan dengan memakai Perppu No. 4. berlaku nopember 2008. Sementara itu, berdasarkan temuan BPK, pemerintah mengucurkan dana Rp632 miliar pada 20 November 2008 untuk menutupi kebutuhan modal untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen, lalu pada 23 November sebesar Rp2,77 triliun untuk menambah modal sehingga CAR bisa 10 persen. Kemudian, pada 5 Desember Rp2,2 triliun untuk memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank. Bahkan setelah Perppu tersebut ditolak pun 18/12/08, pemerintah masih saja mengucurkan dana untuk menutup kebutuhan CAR bank itu berdasarkan hasil assesment atau pengkajian BI yakni pada 3 Februari 2009 Rp1,15 triliun dan pada 21 Juli Rp630 miliar. Dari proses pengucuran dana ini saja, nampak sangat jelas, penetapan bang siantury sebagai bank gagal berdampak sistemik tidak mengacu pada ukuran yang jelas alias dipaksakan, sehingga tidak diketahui dari awal berapa sebenarnya besaran talangan yang dibutuhkan. Menyamakan ke dua krisis yang berbeda ini menganalogikan, jauh panggang dari api, seperti memegang ayam lalu meyamakannya dengan kambing. Tak mau kalah jadilah si kambing hitam. Semoga sumpah atas nama Tuhan dengan kitab firman di atas kepala mampu menguak kebenaran tabir ini. Dus, benarkan dalih boediono sistemik cuma ngawur, iya gak ?, atau mungkin ada pendapat lebih bijak dari anda dibanding pendapat saya yang awam ini. wallahualam. SALAM DIALOG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline