Lihat ke Halaman Asli

Mari Peduli Pada Media

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_27577" align="alignleft" width="328" caption="Demo Wartawan (foto detiknews.com 20/11/09)"][/caption] Ditengah mosi tidak percaya masyarakat akan peran para anggota DPR sebagai media kontrol sosial terhadap berbagai kebijakan pemerintah, alih-alih malah mereka banyak yang terlibat kasus korupsi. Demikian pula rasa tidak percaya publik kepada para penyidik dan penuntut, maka suara aspirasi tuntutan keadilan dan kebenaran hanya bisa disampaikan melalui media, terutama media arus utama. Belajar dari pengalaman di jaman Orba selama 32 tahun, media seperti kerbau dicocok hidung, sehingga desakan-desakan arus perubahan terutama iklim demokrasi hanya muncul seperti buih dilautan, muncul lalu di sapu gelombang kekuasaan tirani Orba. [caption id="attachment_27580" align="alignright" width="285" caption="Anekdot Anggodo (foto detiknews.com)"][/caption] Ditengah carut-marut penyidik Polri terhadap kasus Bibit-candra, media terutama yang dialami Koran Kompas dan Sindo seolah akan kembali mengalami teror dari sang penguasa, walaupun pemanggilan ini dikatakan Polri hanya sebagai saksi namun kemudian pemanggilan ini dibatalkan, terlepas dari niat Polri atas pemanggilan ini, setidaknya bagi media dianggap sebagai sock teraphy agar jangan terlalu berani mengungkap fakta. Ironinya kasus pemanggilan ini terkait laporan anggodo yang dianggap nama baiknya dicemarkan, sebegitu wangikah nama baik anggodo sehingga Polri segera menginterogasi pimpinan media atas pemberitaan transkrip rekaman hasil penyadapan KPK terhadap anggodo yang dipublish di lembaga MK. Kalau anggodo itu orang baik, anggaplah saat itu pejabat KPK mau memeras duitnya, seharusnya pada saat itulah dia melapor ke Mabes Polri, sehingga bisa dibuat scenario untuk menangkap basah para pelakunya. nah, lha sekarang, apa lacur, ketahuan dan gagal baru lapor, wajar dong publik geram, anggodo bak maling teriak maling. Kalau sekiranya media bisa lagi dibungkam seperti jaman Orba, wah.., wah...., para blogger juga harus puasa dong nulis tentang politik dan hukum, cukup soal-soal topik sex saja atau sejenis anunya Inge, kalee. Untuk melengkapi tulisan sederhana ini berikut saya copas beberapa pemberitaan seputar persoalan media ini.wallahualam [caption id="attachment_27599" align="alignleft" width="285" caption="Foto Kompas 4/11/09"][/caption] Jakarta - Puluhan jurnalis yang menamakan diri Koalisi Anti Kriminalisasi Pers tetap mendemo Mabes Polri meskipun pemanggilan pada media massa telah dibatalkan. Mereka menggantungkan ID Card dan kamera di gerbang Mabes Polri. "Kami menolak terhadap segala bentuk teror terhadap pekerjaan kami. Jurnalis dibungkam, hak informasi publik terabaikan. Jurnalis harus merdeka dan terbebas dari ancaman siapa pun," demikian siaran pers yang dibagikan di depan pintu masuk utama Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jumat (20/11/2009) pukul 10.50 WIB. Kepolisian diminta agar tidak melakukan pembungkaman pers. "Jangan lagi dilakukan pemanggilan kepada media karena dilindungi UU Pers," kata Ketua Poros Wartawan Jakarta, Parni, dalam orasinya. Peserta aksi juga membawa sederetan poster sebagai bentuk protes. Poster-poster tersebut antara lain bertulis 'Anggodo dijamin, Jurnalis Diseret', 'Jangan Bungkam Pers', 'Lindungi Kebebasan Pers', 'Tolak Kriminalisasi Pers', dan 'Save Journalist'. Rencana pemanggilan redaksi harian Kompas dan Seputar Indonesia oleh polisi ditanggapi lucu oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dalam pembukaan Rakernas VII PDI-P di Kantor DPP Lenteng Agung, Jumat (20/11). Awalnya, Mega enggan berkomentar, menyadari nanti jawabannya akan menggelitik. "Saya ini pernah jadi presiden. Jadi, seharusnya hal-hal yang ada itu diselesaikan dengan cepat, diberi kebebasan pers. Rasanya dulu saya kok enggak pernah manggil-manggil (media) ya?" ujarnya. Kompas dan Sindo dipanggil terkait transkrip rekaman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akhirnya diputar di Mahkamah Konstitusi (MK). Polisi mempertanyakan keluarnya transkrip rekaman sebelum rekaman diputar di MK. Pemanggilan redaksi Harian Kompas oleh Mabes Polri terkait pemberitaan rekaman percakapan Anggodo Widjojo yang diputar dalam sidang Mahkamah Konstitusi adalah bentuk intimidasi Polri terhadap media. Demikian dikatakan Ketua BP Setara Institute, Kamis (19/11) malam. Menurut Hendardi, pemanggilan polisi itu sama sekali tidak berdasar. "Semua saluran untuk mempersoalkan keberatan atas sebuah pemberitaan sudah tersedia. Sebaiknya Polri melakukan konsolidasi internal di tengah ketidakpercayaan publik atas institusi Polri. Jangan malah urus masalah-masalah yang tidak relevan," tandas Hendardi. Ironinya, kata Hendardi, Polri begitu cepat merespon laporan Anggodo untuk delik pencemaran nama baik dengan memanggil Harian Kompas. "Sebaliknya, Polisi amat lambat dan ogah-ogahan mengusut dugaan percobaan penyuapan yang dilakukan oleh Anggodo. Langkah Polri ini menggenapi kekhawatiran dan kecurigaan publik terhadap profesionalitas Polri dalam menangani kasus ini," kata Hendardi. Menurut Hendardi, kepercayaan publik terhadap aparat dan institusi Polri semakin terpuruk ke titik nadir karena kesan publik saat ini terhadap Polri adalah kepalsuan, kepanikan, dan salah langkah melulu. SALAM DIALOG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline