Lihat ke Halaman Asli

Menyikapi Zaman (yang Semakin) Edan

Diperbarui: 17 Juli 2018   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Zaman Edan adalah istilah yang menggambarkan situasi sosial masyarakat yang dirasakan oleh kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu, penuh ketidak pastian dan diliputi kecemasan.

Di zaman edan, orang pandai (berilmu) belum tentu sukses. Kebanyakan mereka yang sukses adalah orang-orang yang cerdik dan licik. Orang jujur malah dijauhi koleganya, karena dianggap tidak bisa diajak kerjasama dalam konspirasi dan akhirnya terpinggirkan.

Di zaman edan, orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Untuk mendapatkan pekerjaan atau jabatan orang harus mengeluarkan uang pelicin (menyuap). Maka hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin hidupnya semakin sulit dan terpuruk.

Zaman Edan telah digambarkan dan diramalkan oleh Prabu Jayabaya (abad 12) dan Rangga Warsita (abad 19).  Prabu Jayabaya, yang hidup abad 12 menyebutnya sebagai Kalabendu (zaman kekacauan). Sedangkan Rangga Warsita, pujangga Kasunanan Surakarta yang hidup tahun 1860-an menyebutnya sebagai  Kalatidha (zaman keraguan/edan).

Menurut PRABU JAYABAYA, di zaman edan nanti paradigma hidup menjadi terjungkir-balik (wolak walik ing jaman). Tata nilai buruk merajalela mengalahkan tata nilai yang baik.  Tanda-tanda jaman edan antara lain sebagai berikut:

>  Wong jujur ajur -- wong ala mulya. Orang jujur nasibnya malah hancur (tidak beruntung), karena bakal ditinggalkan orang-orang sekitar yang buruk moralnya.  Dan sebaliknya orang "ala" (tak berintegritas) malah mendapat kedudukan, karena ia berani menghalalkan segala cara (semisal suap menyuap)

>  Wong apik ditampik - wong jahat munggah pangkat.  Orang baik disingkirkan, sedangkan orang jahat, yang licik dan munafik justru mendapat kedudukan.

>  Wong lugu kebelenggu - wong mulyo dikunjoro. Orang yang lurus (apa adanya) malah terbelenggu, tidak mendapat tempat dan kepercayaan.  Demikian pula orang mulia (yang menegakkan amar makruf nahi munkar) justru banyak yang masuk penjara.

>  Ngumbar nafsu angkoro murko. Kebanyakan manusia hanya berorientasi pada uang dan kedudukan, dengan melupakan nilai kebajikan. Mereka inginnya hidup serba mewah dengan mengumbar syahwat kekuasaan (nafsu angkoro murko).

>  Wani nglanggar sumpahe dhewe. Banyak orang dan pejabat yang tidak segan-segan melanggar sumpahnya sendiri. Mereka mudah mengumbar janji-janji namun tidak ditepati.

>  Ora ngendahake aturaning Gusti. Mereka sudah tidak lagi takut dan taat terhadap aturan Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline