Lihat ke Halaman Asli

Putaran Pertama; Timses Ahok Kecewa dan Mencemaskan Putaran Kedua

Diperbarui: 15 Maret 2017   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Benar, seandainya Pilkada DKI hanya diselenggarakan satu putaran seperti daerah lain tentu Ahok-Jarot sudah keluar sebagai pemenangnya.  Hasil quick count menunjukkan Ahok-Jarot mengumpulkan suara tertinggi, disusul Anis-Sandi, kemudian Agus-Silvi.

Peraturan KPU yang mengharuskan persyaratan pemenang harus meraup minimal 50 persen +1 suara bagi Pilkada DKI Jakarta jelas mengecewakan Timses Ahok.  Sehingga meski Ahok memimpin perolehan suara pada Pilkada 15 Februari kemarin namun ia tak serta merta tampil sebagai pemenang dan masih harus bertarung lagi pada putaran kedua.

Seperti yang diprediksi oleh beberapa pengamat bahwa Ahok bakal memimpin perolehan suara, apalagi sebelum kasus penistaan agama.  Berbagai survei menunjukkan elektabilitas Ahok jauh mengungguli bakal calon gubernur lainnya. Meski tersandung kasus penistaan agama namun diprediksi elektabilitas Ahok masih tinggi.  Terlebih lagi ketika pesaing Ahok lebih dari satu pasangan. Hal itu membuat suara lawan Ahok semakin terpecah.

Timses Ahok telah berjuang keras untuk memenangkan Pilkada dalam satu putaran saja. Mereka begitu optimistis, terlebih lagi menyaksikan penampilan jagoannya pada panggung debat tiga kali. Ahok mendapat poin manis yang sangat mengesankan pada ketiga debatnya. Namun hasil Pilkada kemarin ternyata hanya mengantar Ahok pada perolehan suara 43 persen, tidak sampai 50 persen. Capaian ini  memaksa Ahok harus bertarung lagi di putaran kedua.  Inilah yang membuat Timses Ahok menjadi sangat cemas.  Apa pasal? 

Seperti analisis saya diawal oktober lalu bahwa dalam Pilkada faktor terpenting adalah prilaku pemilih.  Perilaku pemilih dibagi dalam tiga golongan, yaitu rasional, sosiologis, dan psikologis.  Golongan pemilih rasional berorientasi pada figur dan rekam jejak kandidat, serta tawaran program dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kandidat atau partai. Hal yang terpenting adalah apa yang bisa dilakukan oleh kandidat.

Sementara golongan pemilih sosiologis berorientasi pada latar belakang dan ikatan sosial yang meliputi aspek etnik, ras, agama dan gender. Agama merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terhadap kandidat. Selain agaman, faktor kelas sosial (kalangan atas, menengah dan bawah) juga merupakan unsur yang berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang.  Sedangkan golongan pemilih psikologis merupakan golongan masyarakat pemilih yang bukan partisan, yang tidak terlalu caredengan masalah politik dan tidak terikat oleh faktor sosiologis, sehingga sangat mudah terpengaruh oleh isu-isu yang berkembang. Mereka ini sebagian besar adalah pemilih pemula.

Ahok-Jarot sebagai pasangan calon petahana lebih banyak mendapat dukungan dari golongan pemilih rasional, karena hasil kinerjanya yang dapat dirasakan secara nyata dan mudah dinilai. Itulah sebabnya mengapa petahana lebih diuntungkan (bila kinerjanya baik) dibanding kompetitornya. Sedangkan dua pasangan penantang, yaitu Anis-Sandi dan Agus-Silvi banyak didukung oleh golongan pemilih sosiologis, terutama terkait aspek keyakinan agama dan karakter budaya ketimuran. Mereka ini cukup militan.

“Fenomena Ahok” akibat kontroversi terkait karakter, sepak terjang, kebijakan, dan latar belakangnya berimplikasi terhadap prilaku politik. Hal ini menjadikan konstelasi politik Pilkada Jakarta memunculkan dua kutub polarisasi, yaitu kutub pendukung Ahok; dan kutub “penentang” (bukan penantang) Ahok, atau bisa dikatakan dengan Kutub “Asal Bukan Ahok (ABA)”. Kutub ABA didukung oleh beberapa komunitas “anti Ahok” dan sejumlah partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Gerindra, PAN, PKB, PPP, dan PKS.

Meskipun alasan verbal Kutub ABA mengusung Cagub alternatif adalah hasil survei yang menunjukkan aspirasi mayoritas masyarakat Jakarta yang menginginkan figur baru sebagai pemimpin Jakarta, namun sesungguhnya ada dua alasan utama, yaitu; Pertama, tidak menyukai karakter Ahok yang keras, kasar, tidak santun, dan tidak bijak, serta kebijakannya yang tidak berpihak pada kalangan  bawah.  Kedua, masyarakat Jakarta yang mayoritas muslim tidak menghendaki gubernur yang non-muslim.

Dalam kalkulasi politik, pasangan penantang dari Kutub ABA berpeluang menang jika “head to head” dengan pasangan petahana, Ahok-Jarot. Namun karena kompromi tidak tercapai akhirnya Kutub ABA pecah menjadi dua poros, yaitu Poros Cikeas yang mengusung Agus-Silvi dan Poros Kartanegara yang mengusung Anis-Sandi. Dengan pecahnya Kutub ABA menjadi dua poros ini maka harapan “head to head” tidak terjadi, dan ini menjadi keuntungan bagi petahana Ahok-Jarot karena suara ABA terpecah.

Namun peraturan KPU yang memberi kemungkinan Pilkada Jakarta dapat dilakukan dua putaran merupakan kerugian bagi pasangan Ahok-Jarot. Dalam putaran kedua nanti, sangat dimungkinkan dukungan suara para kompetitor Ahok akan bersatu kembali menjadi suara Kutub ABA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline