Polemik Sila Kedua di Era Post-Truth dan Kebebasan Informasi
Era post-truth telah membawa banyak perubahan dalam cara masyarakat berinteraksi dengan informasi. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip dasar seperti Pancasila yang telah menjadi landasan berbangsa dan bernegara Indonesia, khususnya sila kedua yang menghargai kemanusiaan secara adil dan beradab, menghadapi tantangan yang signifikan.
Definisi dan Konteks Post-Truth
Era post-truth, yang pertama kali digunakan pada tahun 1992 oleh Steve Tesich, merujuk pada kondisi di mana masyarakat lebih responsif terhadap emosi dan keyakinan pribadi daripada fakta objektif. Dalam era digital, teknologi seperti internet dan media sosial telah memungkinkan penyebaran informasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, ini juga memperburuk fenomena post-truth, di mana penyebaran informasi yang salah dan tidak terverifikasi menjadi lebih mudah.
Sila Kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua Pancasila, yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab," merupakan salah satu prinsip dasar dalam berbangsa dan bernegara Indonesia. Prinsip ini bertujuan menghargai kemanusiaan secara adil dan beradab, yang melahirkan persatuan melalui rasa empati, persaudaraan, hingga pembebasan, termasuk menetaskan politik emansipatoris atau perkembangan manusia. Sila kedua ini juga menuntut kebenaran untuk diverifikasi serta menghindarkan kita dari tindakan manipulatif yang merugikan.
Tantangan Penerapan Sila Kedua di Era Post-Truth
Namun, dalam era post-truth, penerapan sila kedua menghadapi tantangan besar. Emosi, keyakinan personal, serta narasi subjektif memiliki pengaruh yang kuat terhadap persepsi dan opini masyarakat. Masyarakat cenderung dipengaruhi oleh narasi dan pandangan yang sesuai dengan keyakinannya sendiri, terlepas dari keabsahan atau kebenarannya. Fenomena ini memengaruhi apresiasi terhadap sila kedua, karena masyarakat sering kali tidak memiliki kriteria yang jelas untuk membedakan informasi yang benar dan salah.
Peran Media Sosial dalam Meningkatkan Tantangan
Keberadaan media sosial memperburuk situasi ini dengan menghilangkan batas waktu dan tempat yang sebelumnya membatasi penyebaran informasi. Jika dahulu informasi baru disajikan kepada publik setelah melalui proses verifikasi menyeluruh, kini banyak orang secara membabi buta mendukung informasi yang sejalan dengan preferensi atau keyakinan pribadi, tanpa memerhatikan apakah informasi tersebut benar atau salah. Hal ini menyebabkan masyarakat dikelilingi oleh banyak informasi salah, berita palsu, yang pada akhirnya menciptakan kebencian, konflik, dan bahkan kejahatan sosial.