Lihat ke Halaman Asli

Hati-hati dalam Membuat Meme Comic, Anak-anak bukan Bahan Guyonan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14309688071384596676

Meme kini sudah jadi kebiasaan umum netizen di Indonesia sebagai suatu wadah mewakili aspirasi nurani yang seringkali mengeluh masalah sehari-hari di sekitarnya. Masih ingat meme tentang Bekasi ? atau meme tentang boyband ? Itu adalah beberapa bagian dari meme. Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju karena menganggap itu pelecehan.

Tetapi, saya prihatin. Untuk kali ini, pertama kali saya membahas meme yang mengunggah perilaku negatif anak dibawah umur (SD-SMP) dan semua wajahnya ditampilkan secara eksplisit, TANPA SENSOR.  Ini adalah contoh bukti (+link) yang saya anggap melecehkan anak dibawah umur, meski pelaku melakukan perilaku yang menyimpang bagi anak seusianya. Semisal anak SD merokok, anak SD pacaran, anak SD mencoret-coret bajunya pascakelulusan, anak SD bermesraan, bahkan hingga adegan berciuman ! (Screencapture yang saya lampirkan adalah langsung dari Halaman MCI dan MRCI yang tanpa sensor. Tidak bermaksud untuk sama-sama mengunggah tanpa sensor)

Screencapture dari MCI (facebook.com/MemeComicIndonesia)

1430969352659848951

Screencapture dari MRCI (facebook.com/MemeAndRageComicIndonesia)

Dan semua postingan itu baru diunggah belum lama ini. Oke, saya pun menyayangkan sikap dan perilaku anak-anak yang mengikuti kebiasaan orang dewasa. Entah karena kebanyakan nonton acara televisi ataupun ikut-ikutan trend yang menjamur dalam aktivitas di Indonesia. Tetapi, yang disayangkan adalah, mengapa meme yang saya maksud tidak pernah menyensor wajah pelaku ? Apa memang sengaja ingin mempermalukan si pelaku di hadapan publik ? Kemana etika dan nurani kecil si pengunggah bertajuk meme ?

Disini, kesalahannya bukan hanya terletak pada meme saja, melainkan pada kurangnya pengawasan orangtua terhadap anaknya yang dengan mudah mengakses internet. Orangtua mungkin tidak tahu bahwa anaknya memiliki akun media sosial, meski anaknya masih belum berusia 15 tahun (rata-rata usia minimal untuk memiliki akun media sosial adalah 15 tahun). Dengan asal centang pada kolom “Syarat dan ketentuan” serta belum paham akan pentingnya privasi, membuat netizen lain dengan mudah mengambil foto tersebut dan mengunggah ulang dengan versi meme. Dan si pengunggah versi meme pun sama-sama tidak mengetahui kebijakan dan aturan, bahwa mengunggah gambar anak dibawah umur yang berperilaku negatif dengan tanpa menyamarkan/mengaburkan/menyensor wajah si pelaku juga akan berujung ranah hukum pidana, karena dianggap melecehkan si anak dan membuat si anak depresi. Bukannya dididik ke arah lebih baik, justru malah membuatnya jatuh ke jurang.

Dan si pengunggah melalui meme itu gak sadar, atau mungkin gak merasa, bahwa di lain pihak, orang tua pelaku sedang  gelisah, cemas, khawatir, bahkan marah. Dimana putra-putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah pertama, jadi buah bibir negatif di tengah masyarakat. Itu semua karena meme yang tidak menyensor si pelaku di bawah umur. Bahkan, mungkin sekarang ini si pelaku depresi, mengalami tekanan psikologis, yang berdampak pada enggan masuk sekolah, dicacimaki (bullying) masyarakat dan teman sebayanya. Atau lebih parah lagi, si pelaku dikeluarkan dari sekolahnya karena itu. Agak mirip dengan kasus pencabulan, dimana si korban pencabulan, juga terkena dampak dari masyarakat yang telah memberikan sanksi sosial berupa cacimaki dan juga gunjingan yang membuat korban makin depresi.

Dan sebagai bentuk rasa keprihatinan, pada dini hari tadi, saya menulis surat terbuka dan saya unggah di akun facebook saya dengan mode privasi “publik”.

1430971669679785953

Lalu, rekan saya, BangTigor Agustinus Simanjuntak (yang juga aktif di Kompasiana), menyarankan agar saya memuat masalah ini di blog Kompasiana, agar dapat dibaca oleh kalangan luas.

Ya, kebebasan berpendapat memang sudah tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3), namun melindungi, mengayomi, dan mengawasi anak-anak dibawah umur, juga sudah tertuang dalam UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Coba kita bandingkan dengan meme luar negeri, apakah pernah mereka memuat perilaku negatif anak dibawah umur ? Walaupun si anak melakukan hal yang negatif, tetapi tidak pernah dibuat meme secara eksplisit, seperti di Indonesia.  Kesimpulannya, Boleh saja nge-meme, tapi jangan post tentang perilaku negatif anak-anak tanpa disamarkan wajahnya.

Jadi ? Jangan asal nge-meme. Karena anak-anak bukan bahan guyonan !




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline