Berebut kue sekaligus ngalap berkah. Itu nawaitu umat ketika berebut apem dalam tradisi Yaa Qowiyyu saban 15 Safar di Jatianom, Klaten.
Tahun ini lebih dari 6 ton apem disebar. Lantas diperebutkan ribuan pengunjung. Harga sebiji apem mungkin cuma kisaran seribuan. Tetapi barokah tak bisa diukur dengan uang. Jalma tan kena kinira. Jadi jangan heran melihat ribuan orang tumplek blek, hanya untuk berebut kue apem.
Meski apem itu sudah nyaris remuk atau hancur, pengunjung tetap menyantapnya dengan lahap. Beberapa menggunakan jaring agar bisa menangkap dengan lebih mudah.
Trasisi Yaa Qowiyyu berkaitan dengan kisah Ki Ageng Gribig, ulama yang juga keturunan Kerajaan Majapahit. Sepulang berhaji, beliau ingin berbagi pada sekitar. Karena buah tangan tak mencukupi, dia membagikan kue apem. Inilah yang sekarang dilestarikan.
Tradisi berebut makanan berkah tak cuma ada di Klaten. Di tempat lain juga. Cuma beda kisah dan makanan yang diperebutkan: ada tumpeng, lopis raksasa, dan lainnya.
Sumber pembagi/penyebar makanan bisa dibagi dua. Pertama yakni otoritas politik (keraton) serta kedua otoritas religi (kiai dan simbol-simbol keagmaan lainnya). Atau kadang otoritas keagmaan yang merangkap otoritas politik. Misalnya, kiai sekaligus keturunan kerajaan tertentu.
Saya membayangkan, zaman dahulu barokah apem tak hanya yang tak kasat mata. Tetapi juga ujud fisik apem itu sendiri. Umat berebut apem, selain mencari barokah juga untuk dimakan. Karena zaman dulu rakyat masih susah. Bagaimana nggak susah dan miskin, wong kita dijajah multi negara dari Portugis, Spanyol, Belanda, hingga Jepang.
Berebut apem zaman dahulu, selain mencari barokah mungkin juga mengobati lapar. Rakyat berebut remah di tengah zaman yang serba sulit.
Adapun otoritas politik waktu itu (keraton), mencukupkan diri dengan menyebarkan apem atau tumpeng. Merasa sudah berderma/bersedakah. Padahal tugas mereka bukan sekadar menjadi sinterklas. Tapi menjalankan roda pemerintahan dan sistem ekonomi untuk menyejahterakan rakyat.
Mungkin waktu itu, para priyayi keraton yang hidup mewah di istana, ternyum puas melihat rakyatnya berebut sekadar apem. Sang priyayi mendapat sanjungan atas kemurahan hatinya membagi-bagikan berkah. Tapi, itu zaman dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H