Lihat ke Halaman Asli

Panji Joko Satrio

Pekerja swasta, . Lahir di Purbalingga. Tinggal di Kota Lunpia.

Maulid Nabi yang Terasa Menjemukan

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pekan lalu umat Kristiani merayakan kelahiran Yesus (Natal). Malam ini "giliran" kaum Muslimin memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW. Maulid nabi atau muludan, begitu biasa disebut.

Pekan kemarin Presiden Jokowi merayakan Natal di Papua. Adapun untuk maulid Nabi, dia memimpin acara bertajuk Peringatan Maulid Nabi Tingkat Nasional di Istana Merdeka Jakarta, baru saja selesai tadi pukul 21.00. Acara disiarkan langsung oleh TVRI.

Saya tak menyimak dari mula. Saat menyalakan layar kaca, tampak di podium Dr H Abdul Mu`ti sedang pidato. Bukan orasi, karena beliau "hanya" membaca lembar demi lembar naskah di tangannya.

Ustad berceramah dengan membaca teks bukan kelaziman di pengajian. Bagi umat, ustad yang "gaul" dan banyak humor kerap disuka . Bahkan pada khutbah Jumat yang notabene "rukun" pun, banyak khotib yang improvisasi (alih-alih membaca naskah).

Jadi jika Muti'i membaca naskah, mungkin karena sifatnya yang khusus. Beliau tak ingin slip of tongue pada acara penting (di hadapan presiden). Di sisi lain audiens berasal dari kalangan yang sehari-hari memang bergulat dengan literasi. Jadi, pidato dengan teks justru lebih pas dengan situasi

Tadi di layar kaca, para menteri terlihat tekun menyimak. Tetapi raut wajahnya terkesan kurang bergairah. Fahri Hamzah yang duduk dekat Menteri Pendidikan Anies Baswedan dan Menakertrans Hanif Dhakiri tampak asyik menggenggam ponsel.

Sejumlah hadirin tersorot kamera sesekali memejamkan mata. Kata anggota DPR Adrian Napitulu, harus dibedakan antara tidur dengan memejamkan mata sejenak.

Ada apa? Benarkah protokoler "mengharuskan" maulid nabi dirayakan dengan menjemukan? Karena disiarkan di televisi, menurut saya idealnya dikemas lebih "rame".  Setidaknya, lebih memikat pemirsa yang notabene kebanyakan suka yang meriah.

Okelah, sebuah acara yang dihelat di Istana Negara, apalagi dihadiri presiden, tentu harus sesuai pakem. Termasuk dalam hal konsep, konteks, dan wacana yang diusung. Jadi jangan biarkan sebuah kesalahan sekecil apapun, meski cuma keseleo lidah.

Beda dong dengan muludan di kampung-kampung. Para ustad bisa tampil spontan dan urakan. Sembari bercanda, Pak Kiai bisa mengatakan: kalau Yesus lahir disebut natalan, kalau Nabi Muhammad lahir disebut muludan, sedang manusia biasa lahir diarani babaran. Jamaah pun tergelak dan tanpa sadar malam sudah berganti hari. Dulu waktu kecil di kampung, sudah jamak pengajian dihelat dini hari.

Pamungkas acara, Presiden Jokowi memberi sambutan. Dia sempat berbasa-basi dengan mengatakan, karena Abdul Muti'i dari Muhammadiyah dan Menag Lukman Hakim dari NU berarti sudah lengkap. Jadi tak perlulah dia memberi sambutan. Tetapi, tentu protokoler mengharuskan presiden mengucap sekadar sekecap dua kecap. Maka kemudian Jokowi pun membaca sekira dua-tiga lembar naskah yang dibawa ajudan. Kemudian muludan ditutup dengan pengibaran sang merah Putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline