Sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) sudah digelar Mahkamah Konstitusi. Kita semua sudah tahu siapa pemohon, pemohon, pihak terkait. Tinggal menunggu apa hasil akhirnya yang harus diterima semua pihak dengan legawa. Beginilah seharusnya konstruksi hukum berjalan. Setiap ada pelanggaran ada jalur hukum untuk menyelesaikannya.
Menegakkan kebenaran tidak bisa dilakukan di jalanan seenaknya sendiri. Apalagi kebenaran yang hendak ditegakkan adalah kebenaran nisbi. Kebenaran yang dilihat hanya dari satu sudut pandang. Pun tidak semua orang berhak menjustifikasi ini salah itu benar.
Menentukan suatu hal itu benar dan salah harus ada acuan. Acuannya pun tidak bisa acuan yang ditetapkan individu per individu atau sekelompok orang. Tapi haruslah acuan yang disepakati oleh semua atau sekelompok orang yang mewakili semua. Di situlah filososfi aturan, hukum, undang-undang dibuat. Agar kita punya kesamaan pandangan dan sikap terhadap suatu hal.
Secara filosofis, hukum terbagi dalam dua bentuk, ada yang tertulis dan yang tidak tertulis. Hukum tertulis bisa berupa undang-undang, peraturan presiden, peraturan daerah, KUHP, dan lainnya. Sanksinya jelas, bisa berupa penjara, denda, atau dua-duanya.
Sedangkan hukum tidak tertulis berupa etika. Orang yang melanggarnya hanya terkena sanksi sosial. Dicap buruk dan dijauhi masyarakat. Meski hukumannya secara materiil "tidak sekejam" hukum tertulis, sesungguhnya kedudukan etika lebih tinggi ketimbang hukum tertulis dalam piramida tatanan sosial.
Manusia dilihat sebagai manusia seutuhnya karena punya etika. Etika adalah hal yang sangat fundamental. Ia menyangkut tata krama, sopan santun, dan masalah kepantasan. Jika ada manusia tidak beretika, artinya dia merendahkan statusnya dan menyamakan dirinya dengan hewan. Orang yang melanggar hukum tertulis sudah pasti ia melanggar etika. Orang yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum tertulis.
Contoh kasus, dalam sebuah bus yang penuh, ada seorang nenek tua tidak kedapatan kursi. Ia harus berdiri sementara perjalanan yang ia tempuh membutuhkan waktu lama. Di sisi lain, di sebelahnya ada anak muda yang tentu lebih kuat sedang duduk di kursi dengan nyaman. Anak muda itu seharusnya memberikan kursinya kepada sang nenek tadi agar bisa duduk. Tapi, anak muda itu tak memedulikan nenek-nenek itu. Bisa kita katakan anak muda yang tega itu menyalahi etika bagaimana ia seharusnya bersikap terhadap orang yang lebih tua, tapi ia tidak melanggar hukum formil. Sanksinya hanya sanksi moral dan mungkin sumpah serapah dari orang di sekelilingnya.
Menyelesaikan masalah ketidakadilan atau pelanggaran melalui unjuk kekuatan massa membuat peradaban kita mundur sangat jauh. Etika dan hukum yang dibentuk atas pemikiran dan perjalanan panjang dari generasi ke generasi jadi tak bernilai. Seruan people power yang tidak kontekstual dalam peyelesaian sengketa pemilu adalah salah satu contoh bagaimana peradaban itu mundur.
People power dengan mengerahkan massa ke jalanan dan berunjuk rasa hanya akan membenturkan sekolompok masyarakat satu dengan lainnya. Ujung-ujungnya hukum yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Padahal, hukum rimba adalah pangkal dari ketidakadilan. Namanya saja, hukum rimba, yang menjalankannya pasti seperti hewan, tak beretika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H