Lihat ke Halaman Asli

TEORI HUKUM IMPERATIF: Landasan Rezim Hukum Represif

Diperbarui: 17 Desember 2024   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada satu teori dalam kajian ilmu hukum teori itu dikenal dengan Teori Hukum Imperatif. Penulis menemukannya dalam buku Jhon W. Salmond berjudul JURISPRUDENCE OR THE THEORY OF THE LAW. Teori hukum imperatif memberikan validasi pada pandangan "hukum sebagai perintah"para tokoh ilmu hukum dan filsafat seperti Thomas Hobbes, Pufendorf, Jeremy Bentham, dan Jhon Austin termasuk kedalamnya.

Hobbes misalanya, menulis Hukum (Civil Law) adalah perintah baginya yang diberikan kekuasaan oleh negara untuk memerintah. Banyak buku-buku hukum menguraikan detail dari "hukum adalah perintah". Misalnya yang paling populer didiskusikan di ruang kelas ilmu hukum adalah pandangan Austin yang mengklaim definisi hukum sebagai 'as the command of a political superior, that is, the sovereign, to a political inferior, that is the subject. Perintah itu bisa dari seseorang seperti raja atau ratu, atau badan pejabat terpilih, badan pembuat undang-undang seperti presiden dan dewan perwakilan/Parlemen (dalam konteks legislasi Indonesia) dan perintah ini didukung oleh ancaman sanksi untuk diterapkan jika terjadi ketidaktaatan. Hukum sebagai 'Perintah' juga disinggung oleh Thomasius yang menerangkan bahwa "a law is command by a rule obliging subjects to guide their actions in acordance with this command". Juga Abbot, menulis "law is a social institution which declares and administers in any community a standart of conduct which that community has devised or has discovered through its own experience to be best adapted to its needs".

Meskipun, ada beberapa jenis hukum yang modelnya tidak berdasarkan perintah dari orang yang memiliki kekuasaan (Raja, Ratu, Presiden, Parlemen) seperti hukum kontrak atau hukum perkawinan. Tapi, penulis hanya fokus pada kajian "hukum adalah perintah". Jadi, hukum dalam hal ini adalah perintah oleh penguasa negara kepada rakyatnya.

Di sisi lain, bagi teori imperatif bergeraknya hukum didukung oleh kekuatan kekuasaan negara. Sebab itu, hukum hanya dianggap sebagai perintah-perintah dan hasil dari proses penyelengaraan peradilan oleh negara. Putusan pengadilan adalah benar dan harus dijalankan (eksekusi), secara teoritis hal ini bersifaf memaksa, pembangkanangan tidak dibenarkan hal ini memfasilitasi instrumen koersif diterapkan disini. Konsekuensi dari teori ini adalah represif menjadi budaya, polisi dan senjata sebagai kaki tangan hukum karena tujuan negara adalah ketertiban. Kalimat Hobbes, "manusia dan senjata"menciptakan kekuatan dan kekuasaan hukum. Hukum tidak bersumber dari kebiasan, atau persetujuan, apalagi semangat rakyat seperti yang diyakini mazhab Historycal Jurisprudence. Hukum adalah kehendak dan kekuasaan, berhenti sampai di situ. Rezim hukum represif adalah sebutan yang cocok untuk teori ini.

Sebetulnya teori hukum imperatif mencerminkan budaya kehidupan masyarakat abad pertengahan sampai dengan abad ke 18. Mekipun begitu, dewasa teori ini masih cukup populer dan masih menjadi perbincangan dalam forum-forum diskusi. Misalnya Dato Karni Ilyas yang mengutip pendapat Hobbes dalam diskusi ILC: dengan tema Bolehkan Presiden Kampanye Untuk Putranya ? disela-sela diskusi beliau mengatakan "bukan kebijkasanaan, tapi kekuasaanlah yang membuat hukum dan undang-undang". Di acara yang sama ahli hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan bahwa "hukum adalah pernyataan otoritatif yang memberikan standar pada setiap orang tentang apa yang bisa dan apa yang tidak". Pada forum ILC tetapi tema diskusi yang berbeda Margarito Kamis, mengatakan "sistem mendesaing bahwa judicial otoritarianisme putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) final and binding".

Dari kutipan Dato Karni Ilyas dan Margarito Kamis di atas, penulis perlu menjelaskan lagi bahwa perintah penguasa itu hanya pada dua hal; pertama, perintah dalam format legislasi, kedua, perintah dalam format putusan pengadilan. Logisnya seperti itu, tidak boleh diubah atau diputar balikan. Perhatian atas teori ini adalah potensi otoritarianisme. Dalam kajian berbagai literatur mengaktegorikan Teori Hukum Imperatif kedalam aliran konservatif. Prespektif ini memandang hukum sebagai sarana kontrol sosial dengan pendekatan represif.

Nonet dan Selznick mengartikan represif kedalam beberapa hal. Pertama, rezim yang memerintah mencerminkan kepentingan tertentu bukan kepentingan masyarakat, kecuali kepentingan itu adalah prioritas dimaksudkan untuk menghindari timbulnya bahaya tentu bagi bagi umum, apabila mengikuti prosedur. Ini adalah bentuk diskresi dimana kemaslahatan publik diutamakan dibandingankan kemudaratan. Kedua, represif tidak mesti berbentuk penindasan dengan kasar. Misalnya, penggunaan kekerasan yang tidak terkontrol, untuk melaksanakan perintah menekan pihak yang tidak patuh, atau menertibkan demonstransi dengan senjata kimia berupa gas air mata dan lainnya. Represif bentuk lain misalnya eksploitasi persetujuan subjek-subjek tertentu.

Masih banyak jenis-jenis represif yang diuraikan oleh Nonet dan Selznick yang tidak dibicarakan dalam artikel ini. Tapi, poinnya adalah ukuran dari tindakan rezim hukum yang represif adalah sebarapa luas partisipasi dan kebebasan publik.

Ketidak puasan atas teori ini oleh kalangan aktivis hukum mulai memikirkan alternatif baru dan mengevaluasi kembali konsep ketertiban sebagai tujuan hukum dan relevansinya. Berangkat dari hal itu paradigma yang dibangun adalah keadilan menjadi pokok utama dalam agenda kepentingan publik. Teori hukum imperatif, pun semakin mendapat perhatian kritik selalu ditujukan pada ketidakmampuan teori ini sebagai sarana perubahan apalagi tangga menuju keadilan substantif.

Seperti yang penulis katakan diawal, Teori hukum imperatif masih mendapat perhatian sampai saat ini. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai kasus per kasus. Misalnya, kasus pembebasan lahan masyarakat untuk "kepentingan pemerintah/nasional", menempatkan masyarakat pada posisi tidak bisa memilih untuk menolak selain menerimah tawaran pemerintah. Kasus seperti izin pembukaan lahan untuk area pertambangan. Berapa banyak masyarakat yang terdampak atau potensi terdampak kerusakan lingkungan, untuk mencari posisi dari rezim hukum represif maka perlu melihat parameternya yaitu pada seberapa besar peluang partisipasi masyarakat dan kebebasan mayarakat untuk menolak aktivitas perusakan lingkungan oleh aktivitas pertambangan yang sah secara legal prosedural, posisi penolakan masyarakat itu berhasil atau tidak. Apabila, partsipasi yang minim, dan tidak berhasinya penolakan masyarakat atas aktivitas hukum dilapangan pada kasus tertentu misalnya aktivitas pertambangan merusak lingkungan atau beroptensi. Maka, tidak perlu mencari definisi lain. Dalam kajian teoritis adalah rezim hukum represif. Seperti yang dikatakan oleh Nonet dan Selznick salah satu karakter rezim hukum represif adalah "langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam administrasi hukum...kenyamanan adminitrasi menjadi titik berat perhatian".

Referensi:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline