20 Ramadhan, pukul 00.00
Aku baru benar-benar menyadarinya saat duduk di Starbucks Café malam-malam. Di sana tidak ada apa dan siapa. Hanya sebuah bulan yang menggantung di langit sana. Tadinya ingin coba kuraup, tapi tanganku terlalu kecil untuk memeluk. Bulan mengalah dan memantulkan cahaya pucatnya ke dalam kopiku. Kulihat bayangan di cangkir itu menggenang bergoyang-goyang. Lama-lama bayangannya membentuk lambang hati. Aku terkesiap dan spontan menghampiri jendela café demi melihat langit. Kosong tanpa bintang, hanya ada bulan yang sempurna purnamanya.
Aku kembali duduk menjarak kaca jendela. Diam untuk beberapa lama, memandangi bayangan bulan berbentuk hati dalam kopiku. Akhirnya, tenggak demi tenggak kuminum tanpa perlu menghirup aromanya terlebih dahulu. Beginikah rindu itu? Ada rasa pahit, ada manis, ada kental, ada gurih, ada ruap, ada tidur dan terjaga. Ada kopi, dengan cinta, rasa, dan warnanya. Adakah Kau?
Pukul 08.00, di luar café
Aku ke luar dari café buru-buru. Mendadak sekitarku gelap. Tiba-tiba dari jauh ada yang menyahut, “Astaga, bulan di langit lenyap! Siapa yang mengambilnya?!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H