Lihat ke Halaman Asli

Epifil

Diperbarui: 24 Desember 2015   02:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu dan gelap pun melarut. Jajaran cahaya lampu yang temaram di sepanjang jalan antara Pasar Minggu dengan Lenteng Agung kian merenggang. Berderet barisan pohon besar, tegap angkuh menatap ke arah rel kereta api yang sedang beristirahat di seberang jalan. Angin bergerak menyapa dari arah belakang tepat menuju tubuh Idrus dan bersandar dengan lembut. Sesekali terdengar bunyi kerikil terlempar dari putaran roda-roda motor yang tergesa. 

Malam ini waktu di layar telpon genggam lawas milik Idrus menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh delapan menit dini hari. Suasana di menit ini terasa begitu hening dan sempit. Sebuah gambaran suasana yang dipenuhi oleh segala macam polusi psikis masyarakat di kota besar yang tak lagi mampu tertumpahkan oleh bahasa apa pun selain dengan berjalan kaki. 

Pada perjalanan inilah Idrus menaruh harapan sebagai satu-satunya jalan menuju kematian dirinya sendiri. Ya, sebuah jalan kematian yang pasti agar dapat terbebas dari carut marutnya dunia nekropolis ini.

Tak ada lagi yang dapat menolongku pada kematianku sendiri... Dunia ini terlalu manis untuk ditunggangi oleh mahluk yang bernama Idrus!”, jeritan hati Idrus berulang kali mengingatkan dirinya untuk segela menuntaskan nafasnya ini. 

Sambil terus berjalan menyusuri trotoar yang tidak serius bagi pejalan kaki, Idrus tetap melangkah maju meski langkah itu tidak menentu arah pastinya. Sesuatu yang berada dalam isi kepalanya hanya satu; bagaimana cara termudah untuk mengabisi nyawanya tanpa merepotkan orang lain, dan semoga jasadnya pun tak ditemukan oleh orang lain. Biarlah sekelompok bakteri memamahnya agar jasadnya masih dapat bermanfaat bagi mahluk di semesta ini. Nekropolis telah terlalu kaya untuk keberadaan dirinya. 

Tiada lelah dan rasa letih kakinya pun terus melangkah secara perlahan pasti. Menapaki krikil jalanan dan sesekali tersandung batu besar atau kaleng minuman bekas yang sudah pecok tiada bentuk. Sesekali nafasnya tersendat dan rasa haus mengelilingi rongga kerongkongannya. Namun Idrus tidak membawa makanan maupun minuman selain sandal bata, baju yang melekat di badan serta telpon genggam lawasnya. 

Saat dahaga kian mencekik tepat di ujung tenggorokannya, Idrus melihat bangku yang dirakit dari kayu bungkusan buah di sudut sebuah kios yang berpagar teralis. Otaknya pun mengajak tubuhnya untuk rehat sejenak dari keletihan kedua kakinya. Mungkin saja istirahat dapat menunda rasa dehidrasi yang memuncak ini. Idrus pun akhirnya mengalah dan menuju bangku itu. 

Sambil duduk di teras mungil yang dipenuhi oleh semen teracak dan tumpahan oli tepat di depan kios yang akan merubah rangkanya menjadi bengkel sepeda motor pada siang hari, Idrus pun kembali merenungi diri. Merenung untuk sesuatu yang takkan pernah Ia mengerti. Merenung pada sekumpulan serat otot dan saraf di tubuhnya yang mungkin memang telah bersiap menuju kembali. Kembali mengingat jejak langkah yang berkelana terarah global. 

Tubuhnya pun akhirnya membaca pada sebuah percakapan sunyi. Sebuah rangkaian diam yang hanya dimengerti oleh tubuhnya sendiri. Tubuh yang telah menemaninya selama tiga puluh lima tahun dan tujuh hari. Sebuah tubuh yang telah menjadi rumahnya sekaligus kuburan jiwanya. Akhirnya, Ia mulai memandangi kedua kakinya yang dirasa mengerang, membesar. Kedua kaki itu telah menjadi bola mata atas jiwa yang kian terasing. Keterasingan yang ternyata mampu menguliti dinding hati sekaligus otak mungil yang tersempil di rangka kepalanya. 

Apa yang kau rasakan saat ini, kakiku?”, tanya Idrus pada kedua kakinya. “Bicaralah... Aku tidak akan menghukummu lagi, tidak kali ini. Malam ini akan menjadi perayaan untukku dan bagimu atas kebersamaan kita selama di dunia yang buas. Aku sendiri tidak tahu dalam hitungan berapakah kita akan terpisahkan. Mungkin perpisahan ini adalah pisah yang menyakitkan, tapi aku yakin, kita akan bahagia dan sangat berterima kasih padanya. Aku pastikan itu, kakiku. Aku bersumpah...”, lanjut Idrus dalam tatapan bola mata yang mulai panas. 

Tak berselang lama, mata kanannya meneteskan airmata dalam intensitas yang sangat lambat dan berat. Setetes airmata yang menyesakan dada di antara ruas-ruas pipa darah dalam tubuhnya. Seketika empedu dan jantung seakan bersatu, terhenti untuk ketukan setengah detik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline