Lihat ke Halaman Asli

Mencari Cinta Sejati (Kisah Nyata)#6

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14330001701551629905

Marhaban Ya Ramadhan

Sehari setelah kedatanganku di Jakarta, bulan suci ramadhan pun tiba, malam harinya kami melangsungkan shalat tarawih di mushalla yang terdapat di apartemen mini tempat kami tinggal ini, shalat tarawih di imami oleh mahasiswa perdana secara bergiliran, namun terkadang juga kami mengundang ustadz dari luar, karena yang shalat tarawih di mushalla ini bukan cuma kami para mahasiswa, melainkan banyak juga jamaah dari luar, mereka adalah jamaah ustadz Abdurrahman. Usai shalat tarawih maka semua jamaah mengikuti sima’an yang di baca oleh imam pada malam itu sebanyak lima lembar bagian kedua, karena lima lembar bagian pertama sudah di baca pada saat shalat tarawih. Jadi pada setiap malamnya kami dan jamaah menyimak satu juz dari Al-Qur’an, sehingga dalam jangka waktu satu bulan kami dapat mengkhatamkan tiga puluh juz.

Menu sahur dan buka puasa pun sangat terjamin, kami bebas memilih menu apa saja yang kami inginkan. Lagi-lagi sangat berlawanan tentunya dengan apa yang aku alami dahulu di pesantren yang serba terbatas, yang mana jadwal makannya cuma dua kali dalam sehari semalam, nasinya pun hanya dua sendok, itu pun terkadang setengah matang atau hangus, ya maklumlah yang masak juga santri-santri yang sebagiannya baru belajar, lauknya tiga biji ikan teri yang sudah di belah dua, jadi sebenarnya cuma satu biji setengah dan di goreng tanpa bumbu jadi rasanya seperti kayu tipis yang sangat keras, ada pun sayur hanya kadang-kadang saja itu pun biasanya lebih banyak kuahnya dan tanpa garam. semua yang kami peroleh dari makanan ini pun dengan melalui perjuangan panjang, harus antri dengan antrian yang sangat panjang serta menunggu terkadang berjam-jam karena nasinya belum masak. Dalam mengantri pun tidak sedikit kami mendapat hukuman dari pengurus hanya gara-gara antriannya yang tidak lurus, atau ada yang menyelusup masuk ke dalam antrian. Kami pun tidak bisa banyak menuntut karena semua yang kami peroleh di pesantren ini adalah gratis tanpa di pungut biaya apa pun.  Di sinilah kami di latih untuk berdisiplin dan bersabar, walau aku sadari kalau semua itu bagian dari pendidikan, dan mungkin inilah sedikit balasan atas kesabaranku menahan penderitaan dulu di pesantren. Sebagaimana kata pepatah.

Bersakit-sakit dahulu

Bersenang-senang kemudian

Tidak ada kenikmatan

Kecuali setelah bersusah payah

Dan sesungguhnya setelah kesusahan itu

Pasti ada kemudahan

Hidup ini memang tidak selamanya susah, sedih, sengsara, tapi adakalanya ia akan berubah menjadi manis, indah, senang dan bahagia. Hidup bagai roda pedati yang terus berputar, kadang di bawah dan kadang di atas, tapi terkadang juga berada di samping, begitulah kata pepatah. Mungkin kalau aku tidak sabar menghadapai sejuta penderitaan dulu di pesantren, aku belum tentu bisa mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan ini. kyai kami juga dahulu senantiasa mengingatkan itu. “bahwa apa yang anda lihat, apa yang anda dengar dan apa yang anda rasakan semua itu pendidikan, bukan penyiksaan. Kalian datang ke pondok ini bukan untuk makan dan tidur walau makan dan tidur itu suatu hal yang tidak mungkin terpisahkan dalam hidup kita, tapi ingat tujuan utama kalian ke pondok ini, yaitu untuk belajar dan menuntut ilmu, kalau ingin tidur nyenyak, makan enak bukan di sini tempatnya. Suatu saat ketika kalian sudah berada di luar, maka kalian baru akan merasakan manfaat semua disiplin dan penderitaan yang kalian alami dan tidak senangi saat ini”. ungkapan kyaiku itu sudah mulai kurasakan sejak masih awal-awal meninggalkan pesantren, betapa berharganya sebuah disiplin dan penderitaan yang bernilai pendidikan.

***

Ramadhan yang indah dan penuh berkah itu aku lalui dengan penuh suka cita. Bulan ramadhan ini, kuliah belum di mulai karena masih menunggu mahasiswa sebanyak tiga belas orang lagi. Keterbatasan tempat yang menjadikan jumlah mahasiswa yang di terima hanya dua puluh orang. Menurut informasi yang aku terima dari panitia penerimaan mahasiswa baru, ada  calon mahasiswa yang akan datang pada bulan ramadhan ini dan ada juga yang akan datang setelah Idul Fitri nanti. Di antara malam-malam ramadhan itulah, ustadz Abdurrahman seringkali mengajakku untuk ikut bersamanya menyampaikan ceramah-ceramah tarwih, I’tikaf dan kuliah shubuh di beberapa masjid yang ada di Jakarta. Ikut bersama beliau banyak nilai tambah yang bisa aku peroleh, selain mendengar ceramah-ceramahnya yang menyegarkan dan membawa pencerahan itu, aku juga bisa belajar banyak hal, di antaranya belajar memasang projector, belajar menggunakan laptop, belajar berkomunikasi, belajar bagaimana cara makan yang baik dan sesuai dengan standar orang di kota, bahkan tidak sedikit aku mendapatkan banyak ilmu di atas mobil dalam menempuh perjalanan menuju masjid. Di sinilah aku mendapat kesempatan menimba ilmu sama beliau di tengah-tengah kesibukannya yang padat. Menunggu waktu luang untuk di ajar dengan beliau sangatlah sulit. Karena itu aku harus pandai-pandai memanfaatkan kesempatan, dan di atas mobil itulah beliau banyak waktu kosong, apalagi suasana macet di Jakarta yang seringkali menambah lama perjalanan.

Di shubuh hari bulan ramadhan inilah terkadang beliau lebih memilih untuk bersama kami murid-murid barunya di banding keluar memberikan kuliah shubuh, rumah beliau pun tidak jauh dari tempat kami tinggal, hanya berjarak sekitar dua ratus meter. Kata-kata beliau yang sering kali menyihir itu, membuat kami seperti di hipnotis, sehingga waktu tiga jam bersamanya terkadang terasa hanya seperti setengah jam. Pelajaran-pelajaran yang di sampaikan pun semua jadi terasa baru dan segar, walau dari sebagian pelajaran dan istilah-istilah yang beliau sampaikan sudah sering kali kami dengar, tapi penyampain beliau yang menarik dan meluas itu tidak membuat kami merasa jenuh dan tetap membuat kami betah duduk berlama-lama. Karena lembaga ini bernama Hamalatul Qur’an dan memang hendak mencetak generasi Qur’ani, maka kami lebih banyak focus pada materi seputar Al-Qur’an, mulai dari pengenalan dasar terhadap Al-Qur’an, nama-nama dan sifat-sifatnya, sampai pada tafsir dan tadabburnya, tapi di materi kuliah formal nanti tetap akan mempelajari ilmu penunjang seperti bahasa arab, tauhid, sirah, nahwu sharf, balaghah, bayan, badi’, ushul fiqh, hadits, musthalahul hadits, faraidh dan ilmu-ilmu lainnya seperti halnya yang di pelajari di universitas Islam pada umumnya, semua itu untuk lebih mempermudah kami dalam memahami maksud dan tujuan yang terkandung dalam Al-Qur’an.

Usai shalat zuhur kami manfaatkan untuk beristirahat, persiapan buat I’tikaf di pada malam harinya. Saat dalam keadaan terlelap siang itulah, tubuhku di guncang oleh seseorang, dalam keadaan masih mengantuk dan setengah sadar itu aku memicingkan mata, di depanku sudah berdiri sosok  yang lagi-lagi sudah tidak asing bagiku, Herman Sony Nasution, beliau juga guru dan seniorku di pesantren Darul Ulum, setahun di bawah ustadz Kamal, tapi waktu itu dia bagian perguruan silat, sementara ustadz Kamal bagian bahasa. Bang Herman yang dari Medan itu kemudian melontarkan pertanyaan kepadaku dengan dialek Bataknya,

“Hei… sudah berapa lama kau di sini” tanyanya sambil menarik tanganku dari tempat tidur.

“Aku sudah tiga pekan” jawabku, “Kok bisa sampai di sini juga? Bagaimana ceritanya” tanyaku padanya. Herman kemudian menceritakan proses kedatangannya ke Jakarta yang ternyata dapat info dari ust kamal juga. Tidak lama kemudian azan ashar pun berkumandang dari masjid. Kami kemudian berjalan bersama menuju masjid sambil mengobrol ringan.

Tanpa terasa hari-hari ramadhan telah kami lalui dan idul fitri sudah diambang pintu. Suara takbiran bersahut-sahutan dari masjid-masjid usai shalat magrib dipenghujung ramadhan ini, ada perasaan sedih saat menyadari ramadhan akan pergi yang tahun berikutnya belum tentu dapat berjumpa kembali.

Usai makan malam kami pun berkumpul bersama beberapa pemuda dan jamaah yang domisili di Duren Sawit di Mushalla mini apartement. Karena ba’da isya nanti kita akan adakan takbir keliling yang juga melibatkan anak-anak. Dibarisan terdepan ada mobil pick up yang sudah dilengkapi sound system, suara takbiran yang dikumandangkan Muammar ZA,  Qari’ Internasional dari  kaset begitu syahdu mendayu-dayu, bersahut-sahutan dengan suara dari masjid sekitar. Mendengar suara takbiran, mengingatkanku ke masa lalu di kampung bersama keluarga tercinta, masa kanak-kanak yang begitu indah tak terlupakan, suara takbiran itu pula membawaku ke suasana takbiran keliling yang diadakan di pesantren Darul Ulum setiap tahunnya. Di antara kami ada yang membawa obor, ada yang membawa rebana, kaleng untuk mengiringi suara takbiran itu.

Tepat pukul 22.00 WIB kami sudah kembali ke tempat semula, aku dan beberapa temanku sudah sepakat untuk lebaran di masjid Istiqlal bersama bapak Presiden beserta jajaran pemerintah Negara. Tentu ini hal yang sangat menggembirakan untukku yang baru tiba dari kampung.

Pukul 01.00 dini hari kami tiba di Istiqlal, beberapa rombongan dari daerah telah memadati masjid, padahal pagi masih beberapa jam lagi. Setelah aku perhatikan dari percakapan dan penampilan mereka, ternyata yang banyak lebaran di Istiqlal ini adalah adalah orang dari daerah, yang mungkin selama ini hanya melihat dari televisi seperti diriku. Di sekitar masjid juga telah dipenuhi mobil satellite dari berbagai stasiun televisi, aku yang baru pertama kali melihat pemandangan semacam ini, tidak sabar lagi ingin mengabarkan keluarga dan orang-orang di kampung, agar besok pagi bisa menonton live, kujelaskan aku pakai baju apa dan duduk di mana, sehingga keluarga yang menonton tidak susah mengenaliku.

Malam itu kami tidur dimasjid, namun baru sekitar jam 04.00 petugas sudah membangunkan paksa dan menyuruh kami semua untuk keluar dari masjid, karena akan diadakan pemeriksaan lewat pintu security. Usai shalat shubuh kami sudah tidak bergeser lagi dari tempat duduk yang posisinya lumayan didepan, kapan kami berdiri maka tempat duduk kami akan ditempati orang lain, kami menahan rasa lapar dan rasa kantuk yang mendera, hingga pukul 06.30 WIB jamaah sudah memadati masjid terbesar di Asia tenggara ini sampai ke lantai tujuh. Ketika bapak presiden memasuki ruangan bersama ratusan pengawalnya dari TNI semua mata tertuju kepadanya, bapak Presiden pun melambaikan tangan kepada semua hadirin sebagai bentuk sapaan beliau, usai shalat tahiyatul masjid, imam langsung memimpin shalat ied di lanjutkan khutbah idul fitri. Setelah bubar, bapak Presiden langsung meninggalkan tempat lewat pintu belakang, aku penasaran dan ingin melihat beliau dari dekat, aku berlari kecil menuju pintu belakang, alhamdulillah bisa melihat beliau dari dekat, walau tentu tidak sempat berjabat tangan, saat akan masuk ke kendaraannya, beliau kembali melambaikan tangan ke arahku yang berada di lantai dua, ada rasa GR yang terbetik dalam diriku, seakan beliau mengucapkan kepadaku; “selamat datang Mujahid di ibu kota metropolitan ini, selamat berjuang, semoga engkau menggapai impian-impianmu dan kelak menjadi orang besar yang berguna bagi agama, bangsa dan Negara” ada rasa bahagia, rasa puas dan tentu rasa senang yang mendalam dalam hati ni, ketika anak kampung dari pelosok Sulawesi bisa bertemu langsung dengan bapak no 1 di Indonesia ini. Aku langsung teringat dengan ayat Al-Qur’an dan hadits nabi SAW yang menjelaskan tentang pertemuan seorang hamba yang beriman dengan Allah Azza Wajalla kelak di akhirat, tepatnya di surga-Nya. Kalau bertemu kepala Negara saja senang dan bahagianya begitu luar biasa, lalu bagaimana kalau bertemu dan bisa menatap langsung wajah pencipta sang Presiden, orang tua presiden, bahkan pencipta dari semua yang ada di alam jagad raya ini? Pencipta dari semua keindahan, kecantikan dan keagungan? Sungguh inilah puncak tertinggi dan terindah dari kenikmatan kelak di surga Allah. Allah SWT menggambarkan hal ini dalam Al-Qur’an di surat Al-Qiyamah: 22-23; Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. Begitu juga disebutkan dalam surat Yunus: 26; Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya”. Ulama tafsir menyebutkan bahwa tambahan yang dimaksud dalam ayat ini adalah; melihat wajah Allah yang Agung penuh kemuliaan, serta dapat mendengar langsung firman dari-Nya, inilah kemenangan yang hakiki, inilah impian tertinggi dari semua impian orang-orang yang bermimpi, inilah puncak permintaan dari semua permohonan. Karena itu Allah Azza Wajalla menyebutkan syarat jika ingin bertemu dengan-Nya kelak, seperti disebutkan diakhir surat Al-Kahfi: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". Minimal ada dua syarat dalam ayat ini, yaitu; mengerjakan amal shaleh dan tidak mempersekutukan dengan seorang/makhluk pun dalam beribadah. Semoga kita semua termasuk golongan ini.

Suasana lebaran di kota tentu jauh berbeda dengan lebaran di kampung, adat dan kebiasaan didaerahku, begitu usai lebaran maka kami dari anak-anak sampai orang tua akan berkunjung kerumah-rumah keluarga dan tetangga, baik yang dikenal atau pun tidak dikenal, tujuan pertama untuk meminta maaf, dengan harapan kami keluar dari bulan ramadhan kembali bersih dari dosa-dosa, terutama kepada sesama manusia,  dan kedua untuk silaturrahim, hal ini di istilahkan dengan ‘massiara’ tentu sambil mencicipi hidangan yang telah disediakan disetiap meja tamu. Berbeda halnya dengan di kota ini, usai lebaran kami hanya silaturrahim kerumah mertua guru kami, setelah itu kami kembali ke asrama, bersiap-siap untuk rihlah berwisata ke beberapa tempat wisata di Jawa Barat. Bersambung






BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline