Lihat ke Halaman Asli

Umarulfaruq Abubakar

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta

Saya Santri, Saya Pancasila

Diperbarui: 24 Oktober 2017   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tujuh tahun lebih saya menjadi santri di Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta Kabupaten Boelemo, Gorontalo, saya merasakan pendidikan tentang nasionalisme dan cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia ditanamkan dengan kuat oleh para guru.

Dan saat ini, ketika diamanahkan menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tahfizul Quran Ibnu Abbas, Klaten, Jawa Tengah, saya bersama para guru lainnya berusaha untuk menanamkan kecintaan pada Ibu Pertiwi, menumbuhkan semangat nasionalisme, dan menguatkan keyakinan bahwa NKRI harga mati, kepada para santri.

Sebab kami yakin bahwa nasionalisme dan semangat kebangsaan adalah bagian dari ajaran agama Islam.

Sebab Islam adalah intisari dari dari nilai-nilai kemanusiaan yang diformulasikan dalam bentuknya yang paling luhur. Seperti perasaan kasih sayang, perjuangan dan pengorbanan, membela kehormatan dan kemuliaan, persatuan dan kesatuan,  persamaan hak dan keadilan sosial, semua itu adalah nilai-nilai kemanusiaan yang di dalam Islam tidak hanya ditegakkan dan dilestarikan, tetapi bahkan menjadi bagian ibadah kepada Allah _Subhaanahu wa Ta'ala_.

Maka nilai-nilai luhur dan ajaran yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sesungguhnya diajarkan juga dalam Islam dan menjadi bagian dari ajaran agama ini sehingga tidak bisa dipertentangkan. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.

*Nasionalisme Santri*

Disebabkan oleh keyakinan itulah kita bisa melihat dalam sejarah kehidupan bangsa, betapa besar perjuangan kaum santri dalam membela NKRI dan menjaga konstitusi.

Sejarah telah menunjukkan bahwa negeri ini dibangun di atas tetesan darah para santri dan ulama.

Sebuah komunitas pemberani, perwira, dan ikhlas. Kelompok yang tak berharap pamrih kecuali ridha ilahi. Sebuah komunitas yang menggariskan hidupnya dalam dua kalimat; Hidup Mulia atau Mati Syahid.

Dalam khazanah perjuangan kita, ada Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Tuanku Imam Bonjol, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zainal Mustofa, dan para ulama lainnya yang bersama para santrinya langsung turun ke gelanggang perjuangan bersimbah peluh dan darah untuk membela bangsa.

Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang digagas oleh KH. Hasyim Asy'ari dan puluhan kiai se-Jawa dan Madura, terbukti telah menggelorakan perjuangan rakyat di Surabaya melawan Inggris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline