Lihat ke Halaman Asli

Umarulfaruq Abubakar

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta

The Kite Runner; Untukmu, Keseribu Kalinya

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_160142" align="aligncenter" width="202" caption="The Kite Runner (dansiella.wordpress.com)"][/caption] Engkau sudah membaca karya novel ini, kawan? Kalau belum, aku pikir ada baiknya engkau membacanya, dan engkau nanti akan mendapatkan potret dunia lain yang mungkin belum engkau dapatkan sebelumnya. Kisah kehidupan yang menawan dalam balutan tradisi yang kental dan sejarah tanah air tercintanya. Kisah persahabatan dan hubungan yang rapuh antara ayah dan anak lelakinya, manusia dan Tuhannya, pria dan tanah airnya, dengan penuturan sederhana dan memikat. Engkau akan dibawa ke dalam liku kehidupan pedalaman negeri Afghan. Di tengah belantara puing-puing kota Kabul yang berkabut hitam akibat perang yang berkepanjangan, ternyata menyimpan keindahan kisah kehidupan dua anak manusia. Engkau akan mendapatkan sebuah pelajaran ketulusan dari bocah Afghanistan yang berasal dari Suku Hazara. Hassan namanya. Persahabatan dan ketulusan yang ia berikan dengan sepenuh-penuh dirinya dan dengan caranya sendiri bisa membuat engkau takjub. Ia adalah pengejar layang-layang terhebat dan bergerak dengan insting yang tinggi dalam menjalani hari-harinya. "Untukmu, keseribu kalinya" itulah ucapan yang selalu dikatakannya kepada Amir; sahabatnya sekaligus saudaranya itu, dengan tulus, dengan penuh senyuman. Namun Amir, seorang bocah Pasthun, ternyata tidak mampu membalas ketulusan persahabatan, persaudaraan, pengorbanan dan pembelaan itu. Sebelum akhirnya terjadi kejadian yang memilukan itu, ia sendiri mengakui:

"Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan, untuk menentukan apa jadinya diriku. Aku bisa melangkah memasuki gang itu, membela Hassan dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku. Atau aku bisa melarikan diri. Akhirnya, aku melarikan diri"

Amir membiarkan orang-orang jahat itu menghancurkan kehidupan Hassan. Bahkan ia sendiri yang akhirnya menjadi monster untuk kehidupan sahabat setianya itu. Ia telah mengkhianatinya. Menendangnya. Membiarkannya terlempar jauh.

Menyingkirakan Hassan dari kehidupan adalah pilihan tersulit yang harus diambilnya. Namun setelah Hassan pergi tak ada lagi yang tersisa. Rasa bersalah kini menghantuinya. Seperti layang-layang putus, sebagian dari dirinya terbang bersama angin. Menyedihkan. Mengharukan. Dalam detik kehidupan selanjutnya, Amir pergi jauh meninggalkan negerinya yang mengepulkan asap hitam mesiu. Ia ke Amerika menikmati panorama kehidupan di sana. Sementara Hassan, ia hilang. Punah. Seakan ditelan oleh bumi. Siapa sangka, masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti rapuhnya layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangan yang mewujud kembali. Sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari, bisa mengubah keseluruhan jalan hidup seseorang. Namun, selalu ada jalan untuk kembali menuju kebaikan. Ada waktu untuk membenahi diri kembali. Ada beragam rasa yang berbeda yang pasti engkau rasakan, kawan, saat membaca buku ini. Kurasakan ia begitu menyentuh dan sangat menggugah rasa kemanusiaan. Ada saatnya engkau dibuat iri oleh persahabatan mereka, kali lain engkau merasa takjub dengan ketangguhan tokoh-tokohnya, atau engkau dipaksa untuk tersenyum atau tertawa menyaksikan perjalanan kehidupannya, atau ada waktu tak terasa bulu matamu basah, dengan mendung yang tertahan di sana karena huruf-huruf itu membentuk cerita haru biru yang memaksa embun itu menggantung di kelopakmu. Ketika berada di halaman pertama, tanpa perlu berpikir panjang menikmatinya, engkau akan langsung diajak dalam perjalanan drama kemanusiaan yang menyentuh, merasakan beragam pergulatan rasa dalam jiwa dan perjalanan pikiran menghadapi kehidupan. Indah dan tak terduga. Tidak salah bila novel yang ditulis Khalled Hosseini ini lebih dari dua tahun berada dalam daftar New York Times Best Seller, terjual lebih dari 8 juta copy di seluruh dunia dan diterjemahkan ke dalam 42 bahasa. Ia pun mendapatkan pujian dari banyak kalangan, antara lain dari The Washington Post Book World, The New York Times Book Riview, The Wall Street Journal dan Library Journal. Di Indonesia, Kompas, Republika, Tempo, The Jakarta Post dan Djakarta Magazine ikut menyampaikan pujiannya. Jika engkau, kawan, sudah membacanya, maka sudilah engkau membagi pengalaman dan kesanmu membaca buku itu kepadaku dan kepada kawan-kawan kita yang lain di sini. Kalau belum, maka bacalah segera. Jangan terlambat seperti diriku, yang baru selesai membacanya hari kemarin. Silahkan download di sini untuk versi Inggrisnya dan di sini untuk versi Indonesia. Namun akan lebih baik jika engkau mempunyai bukunya, yang di Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Qanita. Semoga ada banyak manfaat  yang bisa engkau dapatkan. Kisah ini juga sudah difilmkan sejak tahun 2007 kemarin. Ada baiknya juga menonton filmnya. Namun tentu rasanya berbeda saat menikmatinya melalui untaian kata di bukunya. Selamat membaca, kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline