Lihat ke Halaman Asli

Baduy Village, Wisata Tanah Leluhur

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak hal tentang Wisata Indonesia yang selalu menarik untuk disimak, dari mulai alamnya yang tropis dan eksotis hingga jejak kebudayaan yang tak lekang hingga kini. Trip Kaki Gatel kali ini ingin mengajak anda berwisata ke salah satu tanah leluhur yang ada di Indonesia, tepatnya di Provinsi Banten Jawa Barat, berbeda dengan wisata atau kunjungan ke sebuah suku tradisional pada umumnya, disini anda bukan hanya akan diajak memahami arti pentingnya menjaga kemurnian dari pusaka tanah leluhur, berpetualang menjelajah tantangan yang diberikan alamnya yang masih perawan dan liar adalah nilai plus dari wisata kali ini. Badan saya masih terasa remuk redam, kaki saya masih pegal-pegal, belum lagi pergelangan tangan saya yang keseleo saat menahan badan ketika terpleset diturunan curam itu, tetapi lagi-lagi saya tak sabar untuk membagi cerita ini kepada anda. Cerita tentang beningnya mata air di sungai itu, tatapan mata dan kulit sehalus sutera yang mondar-mandir disana. “Lojor teu meunang di potong, Pondok teu meunang disambung, kurang teu meunang ditambah, leuwih teu meunang di kurang” begitulah pepatah Baduy yang tak hanya menggema di hati masyarakatnya, ini juga jadi ikon unik pada souvenir ala Baduy yang dijual. Yang secara harfiah menjelaskan inti dari kehidupan yang apa adanya, kalo kepanjangan gak boleh dipotong, kalo pendek gak boleh di sambung, kalo kurang gak boleh ditambah-tambahin, dan kalo lebih pun juga gak boleh di kurangin. Baduy terkenal sebagai orang Kanekes, sebuah suku yang sarat dengan adat istiadatnya sejak ribuan tahun lalu. Masyarakatnya mendiami kawasan pegunungan Keundeng, tepatnya di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

TIKET ALTERNATIF

Karena padatnya rutinitas ngantor sehari-hari di Jakarta, kami dengan 11 orang lainnya memilih untuk menghabiskan waktu weekend lebih awal. Sepulang dari ngantor hari Jum'at sore, 12 diantaranya berkumpul di Stasiun Kereta Api Tanah Abang, sedangkan Victor yang bermukim diwilayah Serpong memilih berangkat sendiri dan bertemu kami di Rangkas. Sebenarnya untuk berpetualang ke Baduy anda bisa saja menggunakan kendaraan pribadi anda mengakses kawasan Banten, tetapi untuk lebih beradventure ala backpacker, anda dapat memanfaatkan jasa transportasi umum seperti kereta api, yang tentu saja dijamin jauh lebih menjanjikan kocek anda tidak akan terkuras dalam-dalam. Rute paling minimalis bisa menuju stasiun Senen atau Tanah Abang ke Rangkas Bitung. Secara stasiun kereta dan rumah hanya berjarak 150 meter, dari rumah di bilangan Pejaten, Kaki Gatel memilih kereta api Jakarta Tanah Abang dari Stasiun Pasar Minggu Baru. Sayang jadwal kereta ekonomi non AC nya hanya 2x sehari di jam 8 pagi dan 12 siang, jadi kami terpaksa naik yang Ekonomi AC, yah lumayan harganya, 6000 Rupiah perorang, melewati beberapa stasiun seperti Tebet, Manggarai, Dukuh Atas, dan Karet, kereta api ini biasanya memiliki intensitas waktu operasi yang lebih sering, 1 jam sekali. Kebetulan bertemu Anna, atlet soft ball sekaligus teman baik saya dari komunitas Couchsurfing yang ngantor disekitar stasiun tersebut. Anna memang cenderung ceroboh dan super cuek, tiket yang ia taruh di tasnya raib entah kemana, setelah merogoh kantong dan tas nya beberapa kali, terpaksa ia harus membayar tiket Alternatif (yang sudah disertakan denda) seharga 10.000 rupiah. Jadi buat kamu-kamu yang kehilangan tiket atau yang sengaja nekad gak beli tiket, siap-siap keluarin kocek yang lebih untuk bayar tiket Alternatif yang biasanya diberikan oleh kondektur kereta api saat memeriksa tiket. Tidak sampai 40 menit, perjalanan dari St. PSMB di jam 5.10 sore, mengantarkan kami tiba di St. Tanah Abang di jam 6 kurang 10 menit. Jadwal keberangkatan kereta api Tanah Abang Rangkas bitung di jam pulang kantor ada di jam 6.15, 7.30, hingga kereta terakhir pada jam 8 malam. Setelah sepakat, kami memilih Tanah Abang - Rangkas Bitung di jam 7.30 malam, harganya super bacpacker loh, cuma 2000 Rupiah untuk perjalanan ± 2 jam. Selain kereta api ekonomi jurusan Rangkas Bitung, ada kereta api Patas (Cepat Terbatas) yang melayani rute Tanah Abang – Merak. Untuk info lebih jelasnya anda dapat mengakses situs resmi PT Kereta Api Indonesia di http://www.kereta-api.co.id/ . Namanya juga kereta api ekonomi dalam kota, kebayang kan berjubel nya kayak apa, jadi sebelum naik kereta, kami sempat makan disebuah warung kecil dilobby sekitar loket.

POTRET KERETA API JAKARTA – RANGKAS BITUNG

Bayangan riuh penuh orang, berdesak-desakan, teriakan si mpunya kaki yang terinjak, tangan-tangan jahil, hingga tangisan bayi yang memekakan telinga nampaknya tak terlalu jadi kenyataan. Memang sih, di gerbong yang hanya 10 x 3 meter tersebut dipenuhi ratusan penumpang, panas dan sumpek pek pek, tetapi lumayan lah, kalau anda perempuan dan beruntung, seorang pria biasanya akan menawarkan tempat duduknya untuk anda. Setelah beberapa menit, seorang ABG ndeso yang mengaku bekerja di Muara Karang, bersedia bersempit-sempit ria di tempat duduk yang sudah diisi dengan 2 anak kecil lainnya. Venny, mantan wartawan Tempo bagian Kriminal itu juga akhirnya mendapatkan tempat duduk, setelah anak dari pasangan yang mengaku bernama Pak Jalu, orang Banten tersebut bangun dan dipangku oleh sang ibu. Lainnya saya lihat masih berdiri berdesakkan, ada juga yang sudah duduk tapi kembali berdiri demi memberikan tempat duduk kepada seorang bapak tua. *lirik ailsya dan ayu

Perjalanan dari St. Tanah Abang menuju Rangkas Bitung melalui 16 stasiun dari mulai Palmerah, Kebayoran, Bintaro, Rawa Buntu, Serpong dan lainnya. Meski gerah, dan desak-desakkan, perjalanan malam itu begitu menyenangkan, pasalnya sepanjang jalan hingga Rangkas, gerbong kami dihibur dengan atraksi pengamen cilik ala dangdut'an Sunda. Yah, potret kehidupan lain dari sisi Kereta Api, selain penjajak makanan, pengamen banyak yang mengais rezeki disini. Menurut cerita Pak Jalu yang sering mondar-mandir Jakarta - Rangkas, sepasang anak kecil kira-kira berumur 6 tahun dan seorang perempuan 10 tahun tersebut memang sudah mengamen dengan Ayahnya sejak usianya masih kecil dulu,

kira-kira waktu si perempuan yang beranjak gadis tersebut masih berumur 6 tahun. Tembang-tembang terbaru dan lawas ala dangdutan fasih ia lantunkan tanpa text, hanya bermodal seperangkat elektronik radio-kaset plus speaker active jadul yang biasa dibuat ngamen pada umunya. Sekelompok anak muda yang saat itu asik bermain judi sambil menenggak AO alias Anggur cap Orang Tua, ikut memeriahkan suasana, setelah terbuai dengan minuman beralkohol tersebut mereka dengan Pede nya menyanyikan lagu-lagu favorit mereka, sambil melepaskan satu persatu harta benda yang masih menempel di tubuh demi taruhan. “Topi, goceng ya goceng nih, baju (plus bau keringet) harga ceban ya neih ceban” begitulah kira-kira keriuhan mereka, untungnya mereka bukan type berandalan yang doyan bikin rusuh kalo kena alkohol, perjalanan jadi asyik-asyik aja. Belum lagi cerita-cerita plesetan dari Pak Jalu dan sahabat karibnya yang tak sengaja bertemu. “Dulu yah neng, ada orang Baduy yang jalan ke Jakarta untuk beberapa keperluan, lalu dia mencoba naik Trans Jakarta Busway, sepanjang perjalanan dia misuh-misuh bilang, siapa ini yang mengeluarkan ilmu kanuragan, waktu dikasih tahu bahwa itu adalah AC, si orang Baduy tersebut menjawab “ saya mah gak takut sama AC atau sama siapapun, kalo berani atuh tunjukin aja hadepan satu satu”.. Lol. Tak mau kalah, Pak Rojan yang katanya suka mondar-mandir di TIM, cerita : Kenapa ada larangan memfoto orang Baduy?, hmmm saya dan Venny cuma tersenyum geli, pasti plesetan lagi neh, heheheh, jawabannya “karena orang Baduy mengira sinar yang ditimbulkan kamera dikira sebuah kilat dan mereka memaknainya sebagai kutukan”. Hahahah, halllaaah aada ada aja si bapak, kalo gitu, gak usah pake blitz nya yah kawan-kawan.. :) Makin lama, gerbong kereta kami makin lengang, penumpang satu persatu turun dari stasiun demi stasiun. Penjajak makanan juga nampak mengobral dagangannya hampir 70 % diskon. Satu stasiun sebelum Rangkas, cleaning service dadakan yang tadi masih joget-joget dangdutan mulai beraksi, sambil membersihkan kolong-kolong kursi tempat duduk, mereka minta beberapa lembar Rupiah kepada penumpang yang tersisa. Kamu boleh seikhlasnya memberi kepada petugas ilegal yang satu ini.

SEMALAM DI VILLA NANDHA

Tepat pukul 9 malam, kereta itu berhenti di St. Rangkas Bitung, para ojek dan tukang becak mulai mengerumuni. Buat kamu yang ingin melengkapi perlengkapan atau kebutuhan selama berwisata, disekitar stasiun banyak minimarket yang bercokol, bahkan jika kedatangan kamu sebelum jam 8 malam, kami masih bisa berjalan-jalan disebuah Mall terkenal milik Rangkas Bitung, namanya Rabinza alias Rangkas Bitung Indah Plaza . Berhubung rumah yang kami tuju gak jauh-jauh amat, kami putuskan jalan kaki. Beruntung sekali trip kami kali ini, gak perlu keluar biaya hotel atau penginapan, pasalnya salah satu diantara kami adalah anak dari penduduk asli Rangkas yang masih memiliki rumah disini. Nanda, cewe imut yang baru resain dari City Bank ini memang bukan satu komunitas travelling macam kami, ia cuma bawaan dari salah satu teman kami, mas Ayudi, Lol ... tetapi semangatnya jalan-jalan bisa dibilang semangat 45 lohhh. Menginap di rumah kedua Nanda, serasa backpackeran di Villa mewah, hahahha. Padahal kami sudah siap dengan sleeping bag dan rencana tidur di emperan stasiun Rangkas, tapi berkatnya kami jadi tidur di springbed tingkat dua dengan bedcover yang lucu-lucu. *many-many thanks for Nanda dan keluarga. Malam kian bergulir, setelah satu persatu mandi, kami bergegas “mengacak-acak” warung tenda “seafood” di tikungan jalan dekat rumah Nanda. Sambil mendiskusikan rencana keberangkatan kami menuju tujuan selanjutnya, ke desa Ciboleger, wilayah terdekat dengan Suku Baduy. Yah rute perjalanan pada umumnya adalah mengakses wilayah Rangkas Bitung, lalu ke desa Ciboleger. Harapan gak hujan ternyata cuma isapan jempol aja, semalaman hujan deras, bahkan ketika fajar harusnya mulai menyingsing, pagi itu kami masih leyeh-leyeh selimutan menunggu hujan reda. Oh ya, buat anda yang ingin ke Baduy, raincoat atau jas hujan atau payung adalah salah satu perlengkapan wajib yang harus dibawa, karena pada umumnya curah hujan disekitar Baduy tak dapat diprediksi.

ELF BASAH – BASAH :D Pukul setengah enam pagi, hujan mulai reda, kami bergegas meninggalkan tempat tidur Nanda yang nyaman menuju arah stasiun. Untuk menuju Ciboleger dari Rangkas kami harus naik angkutan ke terminal AW dulu, mini bus-mini bus berbentuk elf L300 yang mendominasi kawasan terminal tersebut konon merupakan akses transportasi antar daerah, antar kecamatan sewilayah Banten. Lumayan, tarif jauh – dekat cuma 2000 Rupiah, mengantarkan kami menikmati pagi di kota Rangkas Bitung, melewati alun-alun yang ada masjid dengan menara uniknya, gedung pemerintahan, hingga komplek pemukiman asri. Beruntung sampai di terminal AW, sebuah elf sudah bersiap, si supir angkot juga membantu kami melobi supir elf untuk bersedia mengantarkan kami ke Ciboleger dengan harga yang sesuai. Setuju dengan harga 12.000 perorang, elf berwarna merah itu mulai melesat menembus pagi yang masih berkabut. Lagi-lagi kami dihibur dengan Dangdut ala Remix House plus Rapp. Halllah , kami dibuat tertawa geli dengan beberapa lagu remix house yang diputarnya, serasa di bar dangdut nih, “basah-basah, bibir bawah basah, bibir atas basah, semua basah”, begitulah kira-kira sepotong bait lagunya. Wkwkwkwkwk. Emang dasar kebo, meski jalanan banyak yang rusak dan berliku-liku, semua awak elf ini tetap tertidur demi meneruskan sisa mimpi semalam. Hanya satu setengah jam kemudian, kami tiba di desa Ciboleger.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline