Lihat ke Halaman Asli

Malela, Pesona si Curug Baja

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

For more pictures, go to http://www.kakigatel.com/curug_malela/

Bicara soal alam, tanah air kita memiliki pesona alam yang tak terkira, pun tidak kalah dengan gunung-gunung es yang jadi paku bumi dibelahan dunia lainnya. Indonesia memiliki cagar alam liar yang eksotis dan membumidaya, sebagai ciri khas lain tanah tropis yang tidak dimiliki negara lain. Pada dewasa ini, dunia pariwisata semakin berkembang, seiring meningkatnya sumber-sumber keindahan yang berhasil di temui oleh para petualang dan para dedengkot kepemerintahan. Seperti halnya trendsetter, pariwisata tak habis-habisnya mengundang hal-hal baru yang terus menerus diminati oleh para pelancong, petualang ataupun pecinta alam. Dulu, setelah hits tamasya ke kebun-kebun raya, lalu gunung ke gunung, pantai ke pantai, pulau ke pulau, hingga akhirnya hembusan cerita tentang berbagai air terjun pun mulai marak jadi trendsetter destinasi para wisatawan baik lokal maupun internasional.

Berdasarkan topografi cagar alam Indonesia, banyak beragam air terjun yang bisa ditemukan. Tidak hanya keindahannya, beberapa keunikan khas dari air terjun ke air terjun lainnya juga bisa kita rasakan. Seperti halnya, si air terjun yang satu ini, si liar nan cantik ini dinamakan Curug Malela. Pelancong lokal biasanya lebih akrab menyebutnya dengan sebutan curug, karena berdasarkan letaknya yang masih berada dalam wilayah Jawa Barat, nama curug (bahasa Sunda) lebih mendominasi arti dari air terjun. Wisata alam yang satu ini berlokasi diwilayah Bandung barat, tepatnya di ujung desa Cicadas, kampung Manglid, Kecamatan Rongga. Ini bukanlah sekedar wisata biasa, “perlu hal-hal lain yang menggugah adrenalin anda untuk siap menjelajah ke situs liar ini”, cetus mereka yang pernah menginjakan kaki ke curug yang dimahkotai dengan nama Niagara Mini ini.

RUTE PERJALANAN Untuk mengakses kawasan ini, kota Bandung adalah awal petunjuk pada umumnya. Meski lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi, tetapi alternatif transportasi umum juga masih berlaku untuk mengakses kawasan curug ini. Mini bus yang berbentuk elf, siap mengantarkan anda menuju daerah Gunung Halu atau Bunijaya dari stasiun Ciroyom. Karena tidak ada transportasi yang melayani rute selanjutnya, anda harus menggunakan moda transportasi ojek menuju Kecamatan Rongga hingga ke Desa Cicadas, kampung Manglid, bahkan ke spot terakhir yang biasanya dapat diakses. Buat anda yang menggunakan kendaraan pribadi, siapkan gadget GPS anda sebagai self otomatic guide menuju desa Cicadas, atau bersiaplah untuk berkiblat pada pribahasa ini, “malu bertanya, sesat dijalan”. Terdapat beberapa rute untuk menuju kawasan curug ini, tetapi yang paling umum digunakan adalah Bandung – Padalarang – Cimareme – Batu Jajar – Cililin – Sindang Kerta – Gunung Halu – Rongga – Cicadas, rute ini menempuh waktu ± 3 jam. Buat para pelancong yang datang khusus dari Jakarta dapat mengakses rute langsung menuju tol Padalarang, khusus rute dari Jakarta biasanya memakan waktu ± 5 jam. Anda perlu mempersiapkan jas hujan atau payung, just in case turun hujan. Dan jangan lupa untuk memastikan kondisi kendaraan anda hingga benar-benar berstamina, pasalnya tak semulus yang anda kira, pada awalnya perjalanan menelusup desa ke desa lainnya masih normal, jalan berliku menelusuri perkebunan teh, tapi setelahnya anda akan dibuat deg-deg-an oleh jalan-jalan terjal, tidak rata, hingga berlubang besar. Disini kekuatan mesin dan badan kendaraan anda diuji, sang supir harus ekstra hati-hati terhadap kondis jalan yang semakin liar, jika tidak ingin beberapa bagian kendaraan anda terluka.

GET LOST IN “TEMPAT JIN BUANG ANAK” Trip kali ini merupakan injakan kaki pertama kami di sini. Menggunakan Kijang Innova, dengan 7 awak penumpang (arta, bek, asanti, kety, dyah, dani, dan saya, zee) hasil jaringan silahturahmi Couchsurfing, kami mulai menembus jalan-jalan di jam 00.30 pagi dari bilangan Kuningan Jakarta. Karena kami berangkat saat weekend, alternatif “menghindari macet” kami pilih dengan berangkat pada malam hari, agar kami dapat lebih leluasa menikmati waktu seharian disana. Beruntung, satu diantara kami adalah sesepuh petualang curug Malela ;), paling tidak kami berharap ada titik terang untuk mudah mengaksesnya. Dengan kami, ikut juga sebuah Gadget GPS untuk melengkapi penunjuk jalan. Alih-alih mencoba kehebatan GPS, malam itu kami malah get lost ke daerah “para jin buang anak”, hhhiiiiiiyyhh. Entah apa yang salah, kami hanya mengikuti petunjuk dari gadget canggih itu, sebelum memasuki desa Cililin, kami belok kejalan gelap dan akhirnya jadi cuma setapak, jarang sekali ada pemukiman, makin ke dalam, jalan cuma setapak dan terjal berliku, kanan kiri kami tepian jurang, yang ditumbuhi pohon bambu liar ( ada mitos yang bilang pohon bambu kuning adalah habitat para dedemit malam), jalan juga makin parah. Mas Beck, sesepuh kami yang pegang GPS juga mulai ragu dengan jalan yang tidak pernah ia lewati tersebut. Hampir setengah jam kami terus saja berkutat dengan kebon-kebon liar dan super horor tersebut. Saya jadi teringat masa kuliah dulu, saat menelusuri jalan menuju bumi perkemahan Cibatok – Bogor, sempat nyasar juga, menyusup masuk ke tempat para jin buang anak, hingga sebuah jembatan kayu terpaksa membuat kendaraan berhenti karena tidak mungkin melintas. Ingat demikian, saya jadi mulai komat-kamit membaca doa yang saya ingat. Entah mukjizat Tuhan, saya terheran-heran ketika mobil yang kami kendarai berhenti didepan sebuah jembatan, yang rupanya hanya terbuat dari bambu atau kayu pula. Entah bagaimana, situasi ini sama seperti situasi 5 tahun lalu ketika menuju Cibatok. Kontan kami ragu untuk membiarkan mobil ini terus melintas. Beruntung, masih ada seorang penduduk lokal yang kami temui didekat jembatan ini. Dari keterangan yang diperoleh si ujang (sebutan untuk laki-laki sunda), jalan ini memang mengarah ke Gunung Hawu, tetapi jalur ini tidak disarankan untuk kendaraan roda empat, karena jalannya yang sempit dan rusak parah. OMG, sambil menghela nafas panjang, pentolan trip kami yang merangkap sebagai supir pun langsung tancap gas berbalik arah *lirik Arta, (tentu setelah mengucapkan “nuhuuuun atuh kang” kepada si ujang) :) Meski telah terlepas dari tempat gelap itu, kami masih sempat mendiskusikan apa yang salah dengan rute GPS itu yah. Hmm, entah dengan alasan apa kami membuat kesimpulan, bahwa si GPS yang diketik “curug Malela” pada kolom tujuan lebih menitik beratkan pada tujuan, bukan elemen penting lainnya seperti struktur jalan rusak atau tidak, roda empat atau roda dua saja, yah kalo gak emang si GPS lagi error kaliii, atau emang udah takdir kita nyasar, heheheh *lebaymodeON.

PETUALANGAN OJEK Berasa masih trauma sama GPS, rute selanjutnya pun kami memilih untuk bertanya sama orang lokal saja. Syukurlah, beberapa kali bertanya, 2 jam kemudian kami mulai masuk kedaerah perkebunan teh di Sindang Kerta. Fajar mulai menyingsing, adzan Shubuh menggema mengantarkan kami masuk ke wilayah Rongga. Aroma embun pagi pun berhembus bersama sang bayu serta siluet alam yang mulai berubah warna. Pemandangan bukit-bukit hijau keemasan menjadi santapan pertama kami menyambut pagi di perjalanan menuju desa Cicadas, desa terakhir dan paling dekat dari Curug Malela. Dag-dug-dag-dug groookk, mobil Innova yang kami kendarai mulai meraung-raung, pasalnya jalan sudah sangat parah, kubangan besar hingga struktur tanah yang tidak rata sudah didepan mata, tak jarang kami harus turun demi meringankan beban agar “si kuda hitam” kami ini tak terluka saat melintasi jalan rusak tersebut. Sebenarnya, dari mulai pintu masuk desa Cicadas kami sempat ditawari oleh sejumlah tukang ojek untuk melanjutkan perjalanan hingga sampai warung terakhir (post terakhir), tetapi berhubung ada rekomendasi dari sesepuh, untuk memarkir kendaraan di rumah seorang warga lokal yang sempat ia kenal saat trip sebelumnya, kami bilang pada si tukang ojek, bahwa kami akan naik ojek dari rumah yang kami tuju nanti. Amazing, para tukang ojek langsung tancap gas mengiringi perjalanan kami menuju rumah pak Dadan. Serasa seperti pejabat deh yang kalo kemana-mana dikawal pake iringan mobil dan motor police, secara iringan kami cuma para tukang ojek, jadi gak membuat ribet pengendara lainnya dengan bikin macet jalan kayak model iringan pejabat-pejabat itu. *bravo Tukang Ojek **colek Santi :P

Anda bisa bayangkan bagaimana rusaknya jalan, kami menempuh waktu 1 jam untuk jarak yang hanya 3 hingga 4 km saja. Roda si kuda hitam mulai penuh tanah, terkadang perut mesinnya pun mulai meraung-raung saat melintasi kubangan tanah yang licin. Karena medan makin parah, dan saran tukang ojek untuk menghentikan perjalanan dengan mobil saat itu, kami memutuskan parkir mobil didepan sebuah warung, padahal rumah pak Dadan masih lumayan jauh ke atas. Untungnya, setelah melakukan penawaran, para tukang ojek tersebut menyetujui harga yang sama dengan harga trip mas Beck setahun lalu, Rp. 30.000,- PP. *jempol buat mas Beck yang sudah menawar :))  Sebelum melanjutkan perjalanan dengan ojek, kami mulai prepare barang yang akan dibawa, sambil gantian ngantri di toilet si pemilik warung. Ibu dengan dua anak perempuan yang masih kecil-kecil itu nampak sibuk di dapur mengurus bakwan goreng yang akan dijualnya, sedang si bapak, masih dengan lilitan sarungnya melayani pembeli di teras depan rumahnya yang dijadikan warung. Disini kami menikmati kopi tubruk panas buatan si ibu dengan beberapa sobekan roti yang kami beli di Indomaret semalam. Satu orang satu ojek, petualangan ojek pun dimulai. Yuhuuuuuu, sensasi gujlak-gujlak jalan yang rusak membuat kami berpegangan pada sisi motor, karena tripod gede yang saya bawa, saya asik berpegangan pada baju si tukang ojek yang mengaku bernama Maman, seruu melihat yang lain mulai sedikit tegang dengan medan yang berubah makin terjal, belum lagi tanjakan dan turunan yang ekstrim dan menantang. Dari pada terbuai takut, saya asik ngobrol dengan si tukang ojek selama perjalanan. Yah, si ojek dengan satu anak berumur 5 tahun tersebut sehari-harinya hanya mengandalkan sebongkah motor Honda Supra dan tangan-tangan kekarnya untuk mencari nafkah. Menurutnya, kawasan ini mulai dilirik masyarakat luar sejak 3-4 tahun lalu. Seiring dengan gencarnya pujian para pejabat daerah ke media untuk kawasan ini, 2 tahun kemudian, curug ini menjadi destinasi baru bagi para petualang. Yah bagi para petualang, karena medannya yang masih liar dan sulit dicapai dengan kendaraan biasa. Kamu masih harus trekking 1 km lagi untuk sampai di spot utamanya. Yah 1 km, tapi tak semudah 1 km yang kita bayangkan, konon menurut para anak-anak Hobbit (Lia lt dkk) yang pernah menjejakkan kaki disini, medan trekkingnya bisa sampai 1 jam, belum lagi kalau habis hujan, medan yang licin dan dalam kategori bahaya (secara kanan kiri tepi jurang, hahah), membuat perjalanan harus ekstra hati-hati.

Ikuti kelanjutan cerita perjalanan kami ke Curug Malela di: http://www.kakigatel.com/curug_malela/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline