Fenomena kejahatan yang melibatkan anak-anak makin memprihatinkan, seolah kita menyaksikan pelan-pelan tergerusnya moralitas generasi muda di hadapan gelombang besar pornografi. Pornografi bukan lagi sekadar ancaman laten, melainkan racun yang menyusup ke dalam jiwa-jiwa muda, merusak, meruntuhkan batas antara benar dan salah. Dan sudah saatnya ditutup total.
Kita terhenyak, terpukul, ketika mendengar berita anak-anak di Palembang yang dengan bangga mengaku melakukan kejahatan seksual setelah terpapar video-video porno. Lebih dari itu, mereka bahkan merasa tidak bersalah, seakan hal itu lumrah dalam kehidupan mereka yang dipenuhi kebebasan tanpa kendali.
Apa yang membuat pornografi begitu berbahaya? Ia bukan hanya tontonan yang lewat, tapi juga virus yang menggerogoti jiwa secara perlahan. Pornografi, dengan kemasannya yang menarik, menghipnotis otak anak muda, membuat mereka kecanduan dan kehilangan kemampuan untuk menilai moralitas. Data mengejutkan menyebutkan bahwa 97% anak di Indonesia telah terpapar pornografi, suatu angka yang seharusnya menjadi sinyal darurat bagi kita semua.
Mirisnya, hukum di negeri ini belum mampu melindungi generasi muda dari ancaman besar ini. Ketika anak-anak terlibat dalam kejahatan, mereka tidak bisa dihukum dengan tegas karena masih dianggap "anak" dalam konteks undang-undang. Ini menyedihkan, terutama ketika kita menyadari bahwa mereka secara biologis dan psikologis sudah balig, sudah mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Sayangnya, sistem hukum yang ada justru tampak mandul dalam menghadapi persoalan ini, seolah kita hanya bisa menonton tanpa bisa berbuat banyak.
Kerusakan ini tak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan yang terlalu menekankan aspek sekuler dan mengabaikan aspek moral. Anak-anak diajarkan untuk mengejar kebebasan, namun kehilangan panduan tentang batasan-batasan moral. Di sinilah letak kesalahan kita sebagai masyarakat. Pornografi bebas mengalir melalui gawai yang kita berikan pada anak-anak tanpa pengawasan. Sementara itu, negara hanya bertindak setengah hati dengan memblokir situs, tanpa menyentuh akar persoalan yang lebih dalam.
Sistem Islam menawarkan solusi yang holistik. Dalam kerangka syariat, pornografi ditangani dengan tegas. Media massa dan media sosial diawasi ketat, dengan sanksi yang berat bagi pelanggar. Anak-anak tidak sekadar dihukum, tetapi dididik dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan tanggung jawab dan kesucian. Selain itu, orang tua diberi peran utama sebagai pendidik, dibantu oleh negara yang memastikan kesejahteraan ekonomi, sehingga tidak ada alasan untuk melepaskan tanggung jawab pendidikan moral kepada teknologi.
Bukankah sudah saatnya kita mengambil langkah lebih berani? Pornografi tidak hanya harus diblokir, tapi juga dihapuskan dari setiap aspek kehidupan kita, demi menyelamatkan generasi yang akan datang. Hanya dengan pendekatan menyeluruh, kita bisa menghentikan arus kerusakan ini. Bagaimanapun, kita tak bisa terus-menerus merelakan anak-anak kita tersesat dalam kabut pornografi, kehilangan arah, dan akhirnya terjerumus ke dalam jurang kejahatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H