Lihat ke Halaman Asli

kakak irbah

content writer

Perampasan Lahan dan Tata Ruang: Analisis Kritis dari Pengamat Politik

Diperbarui: 6 Januari 2024   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lahan dan tata ruang pexels.com/Magda Ehlers 

Perampasan Lahan dan Tata Ruang: Analisis Kritis dari Pengamat Politik

Pengamat politik mengungkapkan pandangan kritisnya terhadap perampasan lahan yang terjadi secara sistemis demi kepentingan korporasi. Dalam acara Risalah Akhir Tahun 2023 di Malang pada 31 Desember 2023 lalu, Carrera Niqi menyoroti hubungan antara tata ruang dan tata uang, dengan menilai bahwa perampasan lahan bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di banyak negara lainnya.

Menurut Niqi, perusahaan-perusahaan besar memiliki peran signifikan dalam penguasaan lahan, terutama di pulau Kalimantan. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjukkan bahwa dari total 53 juta hektar lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektar yang dialokasikan untuk rakyat, sedangkan 94,8%nya dikuasai oleh korporasi.

Niqi menyayangkan elit penguasa yang seharusnya melayani rakyat, namun justru terlibat dalam praktik perampasan lahan demi kepentingan korporasi. Ia merujuk pada pernyataan Presiden Jokowi yang menanggapi isu ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia dengan menawarkan lahan dalam jumlah besar kepada pihak yang membutuhkan, asalkan ada proposal yang jelas tentang penggunaannya.

Ia melanjutkan bahwa perampasan lahan dan ruang hidup adalah hasil dari politik oligarki, di mana penguasa dan elit pengusaha dalam sistem demokrasi dan ekonomi kapitalisme menjadi regulator perampasan tersebut. Dampak dari perampasan lahan ini mencakup penggusuran, konflik agraria, hilangnya sumber penghasilan, perubahan struktur ekonomi, pencemaran lingkungan, kemiskinan, serta bencana seperti banjir, kekeringan, dan karhutla.

Reforma agraria yang diusulkan pemerintah dinilai gagal oleh LSM karena kurangnya political will untuk memberikan keadilan pada rakyat. Desain pembangunan ekonomi dan UU Cipta Kerja juga dianggap masih mendukung pemilik modal besar dalam menguasai lahan.

Niqi menyoroti perbedaan antara konsep demokrasi dan realitasnya. Ia mengutip pernyataan Abraham Lincoln tentang demokrasi "from the people, by the people, and for the people," tetapi menunjukkan bahwa pada kenyataannya, demokrasi saat ini lebih mengacu pada "from company, by company, and for company," dengan penguasa yang terpilih didukung oleh pemilik modal.

Dalam rangka menanggulangi kondisi buruk ini, Niqi menyarankan agar Indonesia keluar dari jerat kapitalisme global dengan mengadopsi sistem ekonomi syariah. Ia berpendapat bahwa sistem ini akan lebih melindungi ruang hidup rakyat, khususnya perempuan dan generasi muda.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline