Lihat ke Halaman Asli

KEMARAHAN SAYA MINGGU INI

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kejadian satu minggu terakhir begitu membekas dalam diri saya sehingga harus dituangkan dalam bentuk tulisan agar emosi saya bisa tersalurkan dengan cara yang positif. Di forum terbuka ini saya hanya mengungkapkan kekecewaan saya pada keadaan, dimana saya hanya bisa mengamati dan mengumpat jengkel dalam hati. Melalui tulisan ini saya hanya ingin berbagi kegundahan dengan kompasianer sekalian. Ada beberapa hal yang menurut kacamata saya sungguh sangat absurd, tidak pas, tidak adil. Sekali lagi ini menurut saya lho, sehingga sangat-sangat subjektif, tapi saya berharap kompasianer bertindak bijaksana dalam menilai tulisan ini.

Kemarahan saya yang pertama adalah kejadian di lingkungan pekerjaan saya. Beberapa hari yang lalu ada rekan kerja yang tampaknya begitu terbebani dengan pekerjaannya sehingga bertindak diluar akal sehat dengan menumpahkan kekecewaannya secara berlebihan (baca: marah-marah) di sebuah media yang terbuka, yaitu blog. Dalam blog pribadinya, rekan saya ini menumpahkan kekesalannya atas beban pekerjaan yang dipikulnya. Dia menyebut-nyebut rekan kerjanya dengan perkataan yang sangat tidak senonoh, dengan nama asli pula. Apa tidak gila itu?!?! Singkat cerita, tulisannya tentu akan berdampak buruk pada institusi tempat saya bekerja dan pada dirinya sendiri. Entahlah apa yang akan menimpanya nanti. Yang menjadi poin disini adalah saya juga memberikan komentar yang (mungkin) sangat pedas baginya, akhirnya saya berpikir apa bedanya saya dengan dia kalau begini. Inilah kemarahan saya yang pertama, marah pada diri sendiri. Saya kecewa kenapa saya bisa begitu kejam menghakimi keadaan orang lain, tapi disisi lain cara yang saya gunakan sama namun beda intensitas dan kualitasnya. Yang membuat saya begitu menyesal adalah ternyata kejadian ini bisa menjadi isnpirasi/ide untuk saya, tulisan ini salah satunya. Pada akhirnya, yang begitu absurd, tidak pas, tidak adil adalah saya sendiri.

Kemarahan saya yang kedua adalah berita mengenai klub sepakbola kecintaan saya, Arema Indonesia. Dalam sebuah majalah nasional, penulisnya melakukan (katanya) investigasi terhadap kebobrokan sepakbola negeri ini. Terungkap di tulisannya mengenai borok besar dalam kompetisi kasta tertinggi di tanah air yaitu ISL yang menyangkut pemain, pelatih, suporter, wasit, hingga petinggi PSSI. Namun dari sebuah artikel berita saja, saya bisa menduga penulis melakukan pemberitaan yang berat sebelah, sebuah “fakta” yang tersaji pada akhirnya adalah sebuah opini penulisnya. Beritanya sangat memojokkan sebuah tim yaitu Arema Indonesia yang notabene adalah klub kebanggaan saya. Karena majalah nasional ini “terkenal” dengan kredibilitasnya dalam menuangkan sebuah pemberitaan, kontan saja hal ini semakin memicu permusuhan terhadap klub kecintaan saya yang memang sudah banyak musuhnya sejak dulu. Sudah banyak yang bergunjing bahwa Arema Indonesia juara musim lalu karena ada ADT di dalamnya. Padahal fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemenangan demi kemenangan diraih karena kerja keras seluruh tim. “Oke, tapi kan wasit jadi segan berbuat macam-macam karena ada si ADT itu?’’ kata orang-orang tersebut. Saya pikir, “hey, pernyataan seperti apa itu?” ini hanyalah sebuah alasan dari barisan sakit hati yang tim-tim kesayangannya tidak juara atau malah degradasi. Tidak ada bukti yang nyata bahwa klub kebanggan saya itu meraih hasil sempurna di akhir musim dengan cara haram. Dengan adanya pemberitaan di majalah nasional itu, semakin lengkaplah penderitaan Arema Indonesia dan Aremania menjadi musuh persepakbolaan nasional. Saya marah disini karena opini-opini yang berkembang begitu menyudutkan tanpa ada fakta akurat yang terungkap dengan jelas. Tentu kalau penulisnya membaca tulisan ini akan berlindung pada kode etik jurnalistik. Pemberitaan yang begitu absurd, tidak pas, tidak adil seperti ini yang bisa membuat seseorang/sekelompok orang/sebuah organisasi menjadi sasaran hujatan berlebihan menjurus fitnah.

Kemarahan saya yang ketiga adalah terkait dengan sebuah akun twitter yang membuat heboh republik ini, siapa lagi kalau bukan @benny_israel. Tapi bukan dia objek kemarahan saya. Melainkan seorang juru bicara presiden, yang dengan begitu tenang dan angkuh menyatakan mengenal sosok @benny_israel yang mengarahkan jari telunjuknya kepada seseorang dengan inisial A. Bapak jubir presiden ini dengan gampang menyatakan si A adalah begini dan begitu, yang jelas si A adalah sosok dunia nyata @benny_israel. Yang menjadi masalah adalah bapak jubir ini membuat pernyataan lewat kicauannya di dunia twitter, situs mikroblogging yang sedang naik daun di dunia maya republik kita tercinta. Saya ingin menjelaskan bahwa pernyataannya disampaikan tidak secara jantan lewat jalur resmi semisal konferensi pers bahwa @benny_israel adalah si A dan menunjukkan buktinya. Kicauannya pun belum menunjukkan fakta dan data yang akurat mengenai “tuduhan”-nya terhadap si A. Dengan kapasitasnya sebagai juru bicara presiden, tentu kata-kata yang terucap oleh bapak ini tentu terdengar dan terbaca sebagai pernyataan resmi pihak-pihak di lingkaran kekuasaan. Memang benar si A ini lulusan sekolah kedinasan, memang benar pernah bekerja sebagai pemeriksa dan penyidik di instansi pemerintah, betul bahwa si A saat ini sudah keluar dari instansi tersebut dan bekerja sebagai seorang konsultan. Namun, apakah pas dan adil saat pernyataan bapak jubir itu membuat hidup si A tak nyaman, bahkan tertekan dan terancam. Menurut kicauan si A lewat akun twitter-nya, semenjak bapak jubir menyatakannya sebagai @benny_israel, istri si A pernah mendapat teror pada waktu tengah malam. Nama baiknya pun tercemar karena sebuah pernyataan yang-sampai saat ini- belum terbukti kebenarannya. Saya marah karena dengan mudah dia bisa membuat hidup seseorang yang sebelumnya tenang menjadi begitu tertekan lewat pernyataannya. Saya marah karena ada beberapa oknum (saya meragukan oknum-oknum ini bukan orang suruhan) yang menerornya. Belum lagi orang-orang yang percaya pada pernyataan bapak jubir karena kapasitasnya sebagai juru bicara presiden. Bagi saya pribadi bapak jubir ini memang arogan dan angkuh saat “menyerang” pihak lain. Mungkin kompasianer sekalian mengenalnya saat kasus Misbakhun dan Century. Saya marah atas hal yang absurd, tidak pas, tidak adil seperti ini, begitu mudahnya orang-orang republik ini mempercayai pemberitaan di media cetak dan elektronik karena subjek pemberi berita adalah pihak-pihak yang “terkenal” di masyarakat.

Begitulah kemarahan saya minggu ini, tidak ada maksud menyerang pihak lain walaupun kegelisahan ini terdengar sinis. Tapi yang pasti saya yakin kompasianer adalah sedikit dari penduduk republik ini yang bisa melihat dan bersikap terhadap sesuatu secara menyeluruh, mengerti duduk persoalannya. Maafkan saya bila ada kata-kata yang tampak begitu emosional karena sekali lagi ini adalah pendapat saya yang bisa dikatakan sangat subjektif. Bila ada ungkapan ‘pena lebih tajam dari sebuah pisau’ mungkin benar adanya tetapi saya tidak berharap kompasianer ikut menyerang atau malah membenci pihak-pihak tertentu yang saya sebutkan diatas. Di republik ini segala sesuatu tampak relatif sehingga tulisan saya ini bisa berarti salah menurut kacamata pihak tertentu. Mari menyatakan pendapat kita secara sehat dan berekspresi menurut kaidah yang ada karena kita adalah apa yang kita suarakan.

Salam kompasiana!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline