Lihat ke Halaman Asli

Boby Piliang

Asisten Staf Khusus Ketua DPD RI

Mengenal SBY dari Buku "SAP"

Diperbarui: 7 April 2017   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini saya buat ketika tengah berada di atas kereta api yang membawa saya dari stasiun Gambir ke Stasiun Tugu Jogjakarta pada hari Senin (3/4) lalu. Seseorang di depan saya duduk mengenakan baju berwarna biru yang sepertinya kader Partai Demokrat. Saya tau partai ini karena menjadi pemenang pemilu tahun 2009 dan kembali mengantarkan patron mereka Dr. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden untuk periode kedua dan sebagaimana kita ketahui SBY, demikian Presiden RI ke 6 itu di panggil meraih dukungan signifikan dengan mengalahkan pesaingnya Megawati - Prabowo dan Jusuf Kalla - Wiranto. SBY menjadi presiden pertama yang bertahan dua periode pasca orde reformasi dijalani.

Tergelitik untuk ingin tahu seperti apa Partai Demokrat saat ini, saya mengajak teman seperjalanan itu untuk bicara sambil mengisi perjalanan. Maklum saat saya bertemu dia, kami baru saja melewati stasiun Cikampek. Tentu masih jauh putaran roda kereta menuju Jogja. Saya pikir ini waktu yang tepat untuk dapat lebih mengenal SBY dan Demokrat.

Pertanyaan saya pada teman baru itu dimulai dari "Seperti apa situasi internal PD pasca kekalahan AHY - Sylvi, dan apa sikap SBY yang disampaikan kepada kader partai terkait putaran kedua Pilkada DKI,". Teman saya ini, tidak langsung menjawab, Ia tentu dapat saya maklumi akan curiga kepada saya, orang yang baru dia temui di atas kereta lancang bertanya hal yang sangat jauh masuk ke dapur sebuah partai politik. Demokrat lagi, partai pemenang pemilu dan pernah menduduki posisi sebagai The Rulling Party  

Tapi saya adalah seorang yang tak peduli ketika keingin tahuan saya sangat tinggi, saya perlu mendapatkan jawaban. Sebab, jika tidak, bisa gatal badan saya. Tapi jawaban yang saya terima bukan kata kata, teman baru saya itu malah memberikan saya buku "Selalu Ada Pilihan". Sebuah buku karangan SBY dengan menandai halaman yang harus saya baca.

Saya menerima buku itu, lalu membaca sesuai halaman yang ditandainya. Halaman 128, judulnya "Hujan fitnah yang sambung menyambung". Jujur saja, saya paling tidak suka memabca buku yang tebal. Bagi saya buku "SAP" dari ukurannya saya sudah membuat saya jadi berat membacanya. Cepat bosan adalah sifat saya yang tak bisa dipudarkan.

Tapi demi sebuah keingintahuan yang terjawab saya membaca kalimat demi kalimat di halaman buku. Teman baru saya itu memperhatikan cara saya membaca. Saya bisa tahu karena sesekali sudut mata saya arahkan kepadanya. Mengintip.

Kalimat pertama dari judul tulisan itu adalah "Kalau saya ditanya oleh rakyat apa yang paling menganggu hati dan pikiran saya, jawaban saya jelas dan pasti; Fitnah. Seketika saya terdiam. Saya tidak melanjutkan membaca untuk beberapa saat. Ingatan saya melayang ke tanggal 14 Februari 2017 lalu, tepat beberapa jam sebelum malam menjemput gelap Ibukota.

Adalah Mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang memukul gong. Lewat jumpa persnya di hari itu, Antasari menyebut bahwa kasus pembunuhan yang mengantarkannya ke penjara selama delapan tahun terakhir adalah rekayasa istana.

Sontak berita Antasari itu membuat suasana pilkada DKI yang tinggal hitungan jam menjadi riuh dan berkecamuk. Tuduhan Antasari itu membawa hasil yang sudah sama sama kita lihat saat ini, Putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono gagal melaju ke putaran kedua pilkada DKI. Agus tersingkir dramatis.

kembali ke buku SBY, saya melanjutkan membaca hingga beberapa kalimat. Saya dapat memahami perasaan SBY, sebagai Presiden, ia adalah orang nomor satu di Republik ini pada masa itu. 10 tahun, sejak tahun 2004 hingga 2014, Ia adalah pucuk pimpinan di negara ini. Sudah barang tentu, berlaku kalimat "Semakin tinggi sebuah pohon menjulang, maka akan semakin keras terpaan angin yang akan ia rasakan,". SBY pasti tahu persis itu. Ia berada di ujung semua keluh kesah, semua permintaan dan tentu saja fitnah yang tak terhindarkan.

Saya menutup buku "Selalu Ada Pilihan"  itu, lalu menyerahkan kepada teman baru itu kembali. Ia tidak menerimanya langsung. Namun meminta saya kembali membaca beberapa halaman yang ingin saya baca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline