Lihat ke Halaman Asli

"Selamat Natal", Polemik Intoleran yang Tak Beretika

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di Indonesia, polemik tentang ucapan "Selamat Natal" mulai menjadi agenda tahunan untuk menyambut hari raya umat kristiani tersebut. Belakangan, fenomena ini mulai berubah menjadi tindakan intoleran yang tak beretika.

Tulisan ini tidak akan masuk ke ranah benar-salahnya atau haram-halalnya bagi seorang muslim mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat kristiani. Saya justru tertarik dengan adanya tulisan dan komentar di sosial media yang intinya menyatakan bahwa toleransi tidak dinilai dari mengucapkan "Selamat Natal". Lebih jauh lagi ada yang menyatakan untuk tidak mengorbankan akidah demi dianggap toleran dengan mengucapkan "Selamat Natal".

Saya menyepakati kedua pernyataan di atas. Namun demikian saya tetap menyatakan bahwa polemik ini sudah menjadi tindakan intoleran. Karena bagi saya masalah intoleransinya justru terletak pada penggunaan ruang publik sebagai tempat berpolemik.

Mari analogikan fenomena ini dengan acara ulang tahun anak anda. Sebagai ungkapan syukur atas bertambahnya anak ini, anda mengundang semua anak2 di sekitar rumah untuk datang. Lalu beredarlah polemik boleh tidaknya menghadiri acara tersebut karena kebetulan acaranya jatuh pada hari Jumat tanggal 13 yang katanya hari sial. Nah, tindakan yang terbaik adalah jika yg berpolemik membahasnya di rumah atau di komunitas masing2. Namun, jika perdebatan dan adu argumen soal polemik ini dilakukan di depan halaman rumah anda, atau di saat arisan ibu-ibu dan juga ditempelkan di papan pengumuman bahkan di koran, maka ini benar2 rangkaian tindakan intoleransi yang dilakukan oleh orang2 tanpa etika.

Polemik ini kan murni urusan dapur orang Islam. Sebagai urusan dapur, banyak kok umat Islam yang sadar untuk tidak membahas hal ini di ruang publik. Namun sayangnya ada sebagian kecil yang ngotot mengeluarkan pernyataan, melakukan perdebatan dan beradu argumen di "depan umum" sehingga semua orang dapat mengetahuinya. Termasuk umat kristiani yang sejak awal Desember sudah dengan khusyuk melakukan persiapan Natal. Etiskah?

Saya pribadi sebenarnya ingin mendorong agar hal-hal yang sifatnya urusan dapur agama masing2 tidak perlu sampai menjadi isu nasional. Tentu bagi agama manapun akan sangat memalukan jika perdebatan internnya sampai diketahui semua orang. Untuk itu jika terjadi polemik maka para pemuka agama harusnya menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan melalui media. Tidak malukah saudara-saudara membaca pernyataan di media seperti berikut ini : "Soal Natal, FPI Anggap Presiden Jokowi Murtad"

Akhir kata, berpolemiklah dengan cara yang sopan. Gunakan ruang privat untuk isu-isu yang sifatnya urusan dapur. Dengan cara ini, hasrat anda untuk berpolemik tercapai dan umat lain yang sedang beribadah tidak terganggu dengan polemik anda. Win-win solution? Up to you..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline