Lihat ke Halaman Asli

Kompasiana Media Diktator

Diperbarui: 21 Desember 2016   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kompasiana, saya menganggap media ini adalah wilayah untuk beropini secara bebas. Tapi mirip editor media cetak, rupanya adminnya masih hidup di jaman Orde Baru. Mereka berjalan mundur ke belakang.

Beberapa kali saya mendapatkan teguran dari admin. Maklum, saya memang tidak meneliti peraturan secara detil. Beberapa teguran yang berhubungan dengan gambar dan hak cipta bisa saya maklumi. Itu penting untuk menghindari pencurian hak oleh orang lain. Tapi ketika menulis, Eko, Pelawak Salah Panggung, admin menghapus postingan saya. Di sini saya tidak mengerti. Bukankah semua tulisan adalah tanggung-jawab penulis?

Kompasiana menghilangkan hak penulis untuk menyuarakan pendapatnya. Terkait kasus Eko, sebagai netizen, sebagai rakyat, saya punya hak untuk beropini. Toh saya bertanggung-jawab penuh atas tulisan saya. Tindakan main hapus itu adalah keditaktoran. Perihal peraturan dasar yang merugikan hak cipta, dll, oke, itu memang pantas ditegakkan. Tapi mengebiri opini, dengan dalih mendiskreditkan nama baik pihak lain, itu tidak berdasar. Kompasiana harus kembali merumuskan peraturan itu, dengan orang yang kompeten. Di era kebebasan informasi ini, pembungkaman adalah sebuah dosa sosial.

Admin yang menghapus tulisan saya jelas picik dan tidak memahami posisi Eko sebagai publik figur. Satu cuitan Eko bisa berakibat fatal. Ia bisa dijadikan pembenaran oleh banyak orang di media sosial. Karena ia punya posisi. Apa yang saya suarakan adalah kritik saya sebagai netizen. Saya mencintai Polri, saya mendukung pemberantasan terorisme. Semua ungkapan penggembosan terhadap Polri adalah melawan hukum, melawan akal sehat. Untuk itu saya melakukan pembelaan. Dengan menulis kritikan, yang menurut admin justru menyulut kebencian.

Publik figur adalah orang yang mengendarai angin. Mereka diuntungkan oleh popularitas. Tapi angin yang mereka kendarai bisa menjadi badai sewaktu-waktu. Popularitas itu bisa mencelakakan mereka. Contohnya melakukan sesuatu yang buruk. Angin yang mereka kendarai akan menggulung mereka sendiri. Kritikan saya adalah bagian dari angin itu, risiko itu.

Opini saya terhadap Eko adalah reaksi yang wajar terhadap publik figur. Saya membiarkan mereka hadir mengisi ruang publik, sekarang saya menuntut hak saya atas ruang publik itu. Tapi admin, dan pembuat peraturan Kompasiana agaknya kurang piknik. Untuk berpendapat saja harus melalui sekian tukang sunat. Ini bukan Orde Baru. Kalian mundur sangat jauh. Orang-orang harus dibatasi agar tak melampaui batas memang betul. Tapi mengekang secara membabi-buta adalah kediktatoran. Kompasiana media diktator.

Kompasiana, mestinya kalian mengangkat admin yang lebih kompeten. Yang mengetahui batas dan cara berpikir. Bukan manusia yang untuk berpikir sederhana soal aksi-reaksi publik figur saja sulit. Ayo admin, belajar membaca lagi ya. Saya tidak kabur. Akun saya sudah terverifikasi. Tolong bersikaplah dewasa.

Tabik.

Kajitow Elkayeni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline