Lihat ke Halaman Asli

Eko, Pelawak Salah Panggung

Diperbarui: 20 Desember 2016   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Entah sampai kapan Indonesia melahirkan kelucuan. Lucu dalam arti sebenarnya. Seorang awam dan mualaf kemarin sore bisa jadi ulama, sementara ustadz malah sibuk jadi artis. Yang kebetulan artis malah jadi anggota dewan. Sementara anggota dewan mencoba jadi makelar. Muncullah tragedi papa minta saham. Sungguh memalukan.

Artis menjadi pemerintah masih tidak begitu gawat, mereka punya pengawas. Pemerintah agak bodo dibantu staf tetap bisa bekerja. Toh kerjaan mereka masih harus disetujui dewan. Mereka masih terus diawasi gerak-geriknya. Program jangka panjang bisa mencapai umur 30 tahun ke depan. Pemerintahan sebenarnya bisa berjalan autopilot. Hanya soal integritas dan kejujuran saja.

Tapi jika anggota dewannya yang bodo, pengawasnya yang tak kompeten, maka tidak ada lagi yang mengoreksi. Rakyat harus menunggu lima tahun lagi untuk menegur mereka. Itupun dengan cara tidak memilih mereka. Dan selama ada money politic, orang juga tak perduli kerja wakil mereka. Kalau pemerintah korup, masih masuk akal. Meskipun itu tetap jahat. Mereka yang pegang uang, mereka yang menjalankan proyek. Tapi kalau anggota dewan yang korup, alamakjang!

Selain untuk nyocot dan tidur saat sidang, para anggota dewan sebenarnya tak begitu diperlukan. Sistem pemerintahan semakin transparan dan ketat. Sekarang ini yang jadi pengawas Pemerintah justru lembaga hukum, seperti KPK. Wakil rakyat banyak pula yang turut dikandangkan. Sebuah ironi yang getir.

Tapi inilah Indonesia. Pelawak, artis, ustadz, yang sama sekali buta ilmu politik, malah masuk kancah politik. Maka orang-orang yang biasanya manggung di luar itu tanpa sadar manggung di dalam sistem kenegaraan. Untuk urusan nyocot yang gampang saja mereka tak bisa. Anang, Eko, Rachel, adalah contoh, bahwa nyocot politik itu saja perlu otak. Perlu wawasan luas. Perlu membaca banyak buku.

Selain kemarin Anang yang tak ubahnya Vicky Prasetyo, baru saja Eko pelawak itu pamer bodo di depan orang banyak. Melawak tentu baik. Tapi kalau salah tempat ya bermasalah. Contohnya melawak di tempat orang yang baru saja meninggal, bisa?

Dengan enteng Eko menuding kasus penangkapan teroris sebagai upaya pengalihan isu kasus Ahok. Kalau Tito berang itu wajar, dia orang yang sangat berpengalaman dalam soal teroris. Ia paham betul betapa bahayanya manusia-manusia terkutuk itu. Dan buktinya, di antara sekian kasus bom dunia yang terjadi secara serentak, Indonesia berhasil menggagalkannya.

Tito kenyang pengalaman. Dimulai dari Bom Bali, Tito mengungkap pelaku dengan cara luar biasa. Seperti yang terlihat dalam film-film itu. Mereka menggunakan segala cara, terutama pemakaian zat kimia dan teknologi mutakhir. Pertaruhannya juga jelas, nyawa orang banyak atau nyawa petugas. Tapi pengalaman panjang itu dianggap angin oleh Eko.

Padahal persoalan teroris ini bukan perkara main-main. Ini kejahatan luar biasa.

Tuduhan Eko itu terkandung beberapa persoalan serius. Pertama menuduh polisi mendalangi kasus teror.

Anda kalau difitnah maling mangga saja tentu marah. Padahal itu urusan sepele. Hanya soal mangga. Tapi kalau dituduh sebagai otak pembuat teror, ada rentetan serius di belakangnya. Anda dan keluarga anda sudah jelas terancam dikucilkan. Anda sekeluarga dianggap sel kangker yang berbahaya. Bagaimana reaksi anda?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline