10 november 2017 adalah sebuah hari peringatan bersejarah dimana hari ini disebut sebut sebagai hari dimana Surabaya membara dan berhasil menekan penjajah di Surabaya mundur. Saya ingat jelas semua kisahnya dan perjuangan para pahlawan dari teks-teks drama 10 november yang pernah saya ikuti.
Namun pagi ini ditengah menyiapkan perlengkapan anatomi dan baju praktikum saya sempat berpikir, apakah negeri ini benar-benar merdeka? Tak panjang pikir bersama tukang, saya menaiki motor matic berwarna merah dan bergegas menuju kampus. Waktu menunjukan 6.45 dan tiba-tiba di persimpangan ban motor yang kami tumpangi meletus dan hampir menjatuhkan kami berdua. Tak lama kami pun menuntun dan menambal ban kami di tambal ban terdekat tanpa rasa curiga.
Menunggu antrian yang sangat panjang saya melihat seorang kakek disamping tempat saya duduk di dalam warung menyeruput kopinya sembari membaca koran dengan topi khas veteran dan kacamata baca dari besi yang tipis. Lalu tak lama kakek tua itu berkata, "Masyarakat iki onok onok wae, ya bu." kata sang kakek kepada penjual kopi. Sang ibu membalas seakan dirinya telah mengenal kakek itu, "Demo lagi ta pakde?"
"Iya, padahal jaman awak dewe mbiyen seng diperjuangaken iki duduk gawe ngerusuh tok lah iki opo opo demo. Koyok ora onok penggawean ae. kerja iku disyukuri wae seng penting istiqomah. Yo sak nemen-nemen ojok ngerusuh sakno seng ora onok hubungane iki kenek imbase kabeh. Sampe diantemi ajur kabeh." ujar kakek tersebut. Lalu mereka berduapun asik membahas yang ternyata berhubungan dengan demo-demo yang terjadi saat ini.
Sang kakek menyeruput kopinya kembali menaruh korannya dan menatapku sembari bertanya padaku, "Namamu siapa, mas? Lagi 10 novemberan?" (Berhubung pakai jas lab) lalu saya menjawab, "Oh, gak pak. sebenernya saya ada praktikum namun saya telat karena ban bocor." Lalu kakek itu menyeruput kopinya kembali dan berkata "Oh saya pikir masnya ikut pawai." Kakek tersebut pun bertanya tentang dimana saya tinggal, saya di fakultas apa dan keluarga saya.
Setelah mengetahui keluarga saya yang diangkatan laut kakek itupun bercerita kepada saya, "Dulu mas, Indonesia itu ndak separah sekarang. Harga beras masih murah, tidak ada liputan dan drama-drama tv seperti sekarang. Dulu masih saya inget kacaunya Indonesia mulai kejadian PKI dimana saat itu Pak Karno digulingkan lalu digantikan oleh Pak Harto hingga akhirnya masyarakat berkumpul karena banyaknya penindasan terhadap rakyat rakyat kecil. Nelongso mbiyen itu mas. Kalau gak ada demo saat itu mungkin saat ini indonesia takkan seperti ini.
Saat itu saya berpikir bahwa indonesia akan berubah tapi ya namane menungso tetep ae malah tambah ajur saiki. Wes talah mbiyen NKRI harga mati saiki NKRI harga nego. Haduh, mas. Iki berita gak onok seng genah sak masyarakate sisan. Kapok saya dulu memperjuangkan negara. Sekarang banyak yang lupa alasan NKRI harga mati. Malah saya melihat sendiri banyak kaum kaum agama yang egois mau menjadikan kita negara yang hanya satu agama.
Padahal dulu saya memperjuangkan negara saat semuda mas itu sama temen temen saya dari berbagai ras dan agama. Ini juga banyak sekali demo yang meresahkan kayak gak punya penggawean. Kalau saya bisa mbalik ke masa saya dulu ya mas saya bakal biarin penjajah nguasai negara ini. Orang sekarang negara penjajah kita lebih berkembang dari kita." Kami pun melanjutkan berbincang-bincang sangat lama hingga akhirnya tukang saya memanggil saya bahwa ban motornya selesai ditambal.
Sebelum saya kembali saya bertanya pada kakek tersebut, "Maaf Pakde, Seandainya Pakde bisa mengatakan sesuatu bagi masyarakat apa yang akan Pakde katakan?" Pakde tersebut menjawab sembari memesan satu cangkir kopi lagi, "Ya, kalau saya bisa berkata sesuatu ke masyaraka mungkin saya akan mengatakan bahwa mereka semua itu sudah lupa perjuangan kami. Bukannya menjaga kok malah bikin rusak. Jangan semua make kepala panas. Api sama api cuma bikin tambah panas. Kok seneng seh nggarai rusuh. Terus jangan lupa NKRI itu harga mati, camkan." lalu sayapun memberi salam dengan senyum dan melanjutkan perjalanan saya ke kampus.
Di tengah perjalanan saya berpikir, mengapa banyak sekali kesenjangan di masyarakat? Generasi budaya yang kebarat baratan dan melupakan budaya yang ada. Kenapa rakyat sama sekali tak bisa saling gotong royong demi mempertahankan NKRI? Apakah terlalu banyak luka yang dibuat oknum-oknum negara?
Miris sekali saat masalah kecil dapat didemonstrasikan namun masalah runtuhnya ekonomi politik tak ada yang mendemonstrasikan. Sungguh malu saya melihat wajah hukum negara ini. Namun saya juga malu terhadap diri saya sendiri karena tak mampu menjadi contoh perubahan itu. Apakah ini gambaran dari generasi kita saat ini? Membuat peringatan hal bersejarah tanpa menjaga apa yang selama ini diperjuangkan. Sungguh miris generasi kita.