Lihat ke Halaman Asli

(Mungkinkah) Demokrasi Tanpa Politik Uang (?)

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertanyaan ini barangkali memiliki jawaban yang berbeda bila dijawab oleh professional dan oleh awam. Tulisan ini berangkat dari opini seorang awam. Dan jalan pikirannya begini:

Demokrasi berpijak pada konsep dari rakyat untuk rakyat: rakyat yang memilih, rakyat yang menentukan. Orang, yang dirinya menginginkan posisi dalam lingkup perwakilan rakyat, tentu akan berusaha merebut hati rakyat demi elektabilitas yang tinggi. Cara merebut hati rakyat tentu salah satunya adalah dengan menuliskan rekam jejak yang bagus di masa lalunya alias berprestasi, punya reputasi baik dan memenuhi syarat-syarat akademis serta legal menurut ‘panitia’. Namun, cukupkah itu? Sepertinya ada satu lagi kata kunci semacam password demi pemenangan diri, yakni popularitas. The (next) question is, bagaimana caranya agar prestasi diri, perilaku baik dan kelayakan lainnya dari diri seorang calon dapat diketahui rakyat, sang pemilih dan sang penentu itu? Seraya menjawab pertanyaan ini, marilah kita sambut, the most wanted way….POLITIK UANG!! (tepuk tangan terdengar membahana)

Sekali lagi, yang terungkap ini bersumber dari pemikiran awam tentang politik. Politik itu mengandaikan tindakan yang selalu ditunggangi oleh kepentingan lain. Dan kata ‘uang’ merujuk pada penggunaan uang dalam berpolitik. Sesederhana itu konsep tentang politik uang. Nah, ketika seorang calon wakil daerah ingin merebut simpati rakyat, dia harus mempromosikan dirinya. Sekurang-kurangnya, dia harus men-terkenal-kan (penggunaan imbuhan secara buruk, ya!?) dirinya lewat spanduk, baliho, stiker, baju, topi, pin atau kaus kutang (ada gak sih, kan dipakai di dalam?) Uang bertindak dalam momen ini. Soal dari mana yang bersangkutan dapat uang, itu persoalan lain (yang justru jadi permasalahan selanjutnya). Siapa yang paling getol mempromosikan diri, dia yang semakin berpeluang untuk dikenal dan disimpatiki banyak orang. Inilah bagian dari politik uang itu. Kita belum berbicara soal konser dangdut, ‘bantuan-bantuin’, apalagi suap-suapan…

So, mungkinkah demokrasi tanpa politik uang?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline