Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Demokrasi Dalam Negri

Diperbarui: 18 Maret 2017   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tujuh belas tahun sejak negara ini beralih dari otoritarian yang berkuasa selama tigapuluh dua tahun sebelumnya. Tak heran jika reformasi yang masih muda ini belum sepenuhnya menjamin kehidupan sosial yang lebih baik. Bagaimana tidak, reformasi seolah menjadi tunggangan empuk bagi sekelompok elit politik yang menguasai demokrasi di tingkat nasional.

Bicara tentang demokrasi, R. William Liddle meyakini bahwa demokrasi nyaris dimanapun hanya merupakan delusi dari politik besar dan sulit dicapai secara sempurna. Demokrasi maksimal hanya muncul ketika dalam bentuk poliarki, dimana kekuasaan tersebar diseluruh elemen masyarakat yang memungkinkan mereka melakukan kontestasi atas dasar kesetaraan politik dalam rangka memperebutkan pemerintahan.

Mengikuti keyakinan liddle, kita melihat bahwa indonesia tidak mempunyai pengalaman demokrasi sebelum 1945. Satu-satunya pengalaman demokrasi indonesia terjadi ketika masa pemerintahan parlementer (1950-1957). Selebihnya pada kurun waktu 1965-1998, kita hanya mengenal 2 jenis otoritarianisme : kekuasaan personal soekarno dan kekuasaan personal soeharto yang mendapat dukungan penuh dari militer. Pergeseran kekuasaan diktatorial orde baru yang mana kekuasaan hanya dimonopoli oleh satu orang, beralih menjadi kekuasaan demokratik pasca orde baru yang kekuasaannya diperebutkan banyak orang.

Tak heran jika para elit politik dan para pengusaha yang sebelumnya ruang geraknya terbatasi oleh rezim orde baru, mulai bergerilya menguasai sumberdaya nasional dengan memanfaatkan celah hukum yang ada. Demokrasi pun lebih terlihat sebagai ajang kompetisi antar berbagai jaringan patron-klien.

Begitu pun juga dengan partai politik, mereka akan memberikan proyek kepada klien nya dengan imbalan dukungan kepada partai tersebut. Itulah sebabnya, para klien tidak tertarik dengan isu yang diangkat oleh berbagai kelompok-kelompok masyarakat yang mengangkat isu-isu seperti agraria, penggusuran, reklamasi dan lain sebagainya. Ditambah dengan semakin meredupnya kekuatan civil society, para klien semakin yakin bahwa patron nya (partai plotik) tidak akan melenceng dari apa yang sudah disepakati bersama.

Ditengah massifnya kelompok-kelompok yang menunggangi demokrasi untuk provite oriented dan kepentingan golongan mereka dan juga semakin melunaknya sistem hukum jika dihadapkan kepada para elite politik, sudah seharusnya  kelompok civil society menyuarakan hak-hak mereka dan menekan kelompok elite secara massif juga, agar demokrasi tak terlihat seperti sebuah tempat pertunjukan drama. Dimana rakyat hanya bisa duduk dengan tenang dan sesekali bertepuk tangan ketika para pemeran utama sedang berimprovisasi sesuai arahan sutradara dari balik layar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline