Lihat ke Halaman Asli

Kahfi

Penikmat wacana sosial, politik, agama, pendidikan, dan budaya

Mengurai HTS, Menjadi Anak di Zamanmu

Diperbarui: 19 Agustus 2021   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pelatihan Nasional dan Workshop Fasilitator Pertolongan Pertama di Buperta Ragunan Tahun 2009

Menjalin hubungan tanpa status sama saja tidak menghargai akan kodrat sebagai makhluk sosial yang tak bisa dipisahkan dalam berinteraksi satu dengan lainnya. 

Karena, pada hakikatnya lingkungan akan membentuk hubungan itu sendiri, mulai dari lingkungan keluarga maka yang terjadi adalah ikatan keluarga orang tua dan anak (red, kakak beradik), lingkungan tempat tinggal yang terjadi adalah ikatan pertemanan atau persahabatan, pun demikian saat berada di lingkungan pendidikan maka akan terbentuk hubungan antara pendidik dan peserta didik atau biasa kita sebut hubungan guru dan murid.

Saat berada dalam satu ekstrakulikuler atau organisasi maka yang terbentuk adalah hubungan antara senior dan junior atau kakak tingkat dan adik tingkat. Lantas, bagaimana hubungan tanpa status bisa tercipta? Atas dasar pertanyaan tersebut penulis hendak menguraikan sebab musabab munculnya istilah hubungan tanpa status.

Istilah HTS

Seperti sudah diuraikan di atas sebagai kodrat makhluk sosial tentu kita memiliki status dalam menjalin hubungan atau ikatan dimanapun kita berada atau kata pepatah dimana bumi berpijak disitu langit dijunjung, yang berarti kita harus bisa membawa diri dimana kita berada dan menghargai perbedaan adat dan budaya manakala lingkungan yang kita tempati berbeda kebiasaan hidup sehari-hari atau pun norma-norma yang ada dalam lingkungan tersebut.

Oleh karenanya, istilah hubungan tanpa status atau HTS ini muncul lantaran ada penyebabnya, pertama, tidak ingin terikat dalam arti bebas (konotasi negatif) , banyak kegagalan dalam menjalin percintaan, korban hubungan orang tua yang tak baik menyebabkan jadi anak broken home, kesalahfahaman dalam menterjemahkan rasa sayang dan perhatian berlebihan yang diberikan lawan jenis.

Bila yang dimaksud dalam konotasi negatif, maka banyak merugi adalah kaum hawa lantaran harus menanggung beban atas prilaku bebas atau tidak ingin terikatnya dalam satu hubungan yang serius. 

Bagi yang sudah berstatus pacaran saja terkadang enggan bertanggung jawab manakala si wanita hamil, di luar ikatan pernikahan apa lagi bila tanpa ada ikatan pernikahan seperti kehidupan di beberapa negara yang melegalkan hubungan intim atas dasar suka sama suka tanpa harus memiliki status hubungan.

Namun, berbeda dengan Indonesia yang menganut budaya timur sangat tidak menganjurkan prilaku hidup bebas seperti itu, oleh karenanya ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Advokasi Perempuan dan organisasi masyarakat yang membidangi perempuan mendorong DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tak kunjung disahkan.

Selanjutnya, HTS muncul lantaran kesalahpahaman dalam menterjemahkan perhatian dan rasa sayang atau kagum yang berlebihan kepada lawan jenis. Tak jarang, akibat kesalahfahaman tersebut mendorong seseorang melakukan tindakan nekat, seperti merudal paksa, bunuh diri, atau membunuh seseorang yang dicintai agar tidak dimiliki oleh orang lain. 

Kemudian, anak broken home korban dari hubungan orang tua yang tak baik. Tentu hal ini harus menjadi perhatian bagi para orang tua agar senantiasa memberikan rasa cinta, kasih sayang, dan perhatian kepada anak-anaknya. Jangan sampai manakala terjadi perselisihan anak yang harus menjadi korbannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline