"Mereka yang tangguh, di tengah "ketidak samaan" yang mengabadi. Tangguh bercengkrama dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Sketsa kebahagiaan itu, berjejer rapi berjarak berapa inci dari sudut mata memandang. Jika kita memasuki pelosok-pelosok daerah.
Di Bastem, kita jumpai, desa sebagai "basis kebahagiaan, kegotongroyongan" sementara Kota sebagai pusat kebahagiaan meteri pusat segala "kebendaan" menumpah ruah.
Di Kota, kebahagiaan anak-anak adalah bercengkrama dengan gawai, berlayar dalam dunia tanpa batas. Di Desa, kebahagiaan adalah berkumpul bersama, menaiki "sepeda" yang bahan buatannya dari alam. Mereka dalam asupan cara hidup yang luhur, menumbuh bersama alam, dua ruang yang tak berjarak; alam dan manusia.
Di Bastem Utara tangan-tangan kecil saling bercengkrama. Di atas sepeda-sepeda dari Bambu ber ban kayu, saling melempar senyum, sesekali mereka berlomba dari ketinggian, layaknya para pembalap. Sepeda itu membahagiakan, mesti kota tak pernah ramah menyapa. Desa akan selalu tumbuh dalam tradisi-taradisi yang sulit dicerna masyarakat kota. Sebab mereka tumbuh bersama alam, saling menjaga untuk keberlanjutan generasi mereka dimasa akan datang.
Di tengah rencana pemindahan Ibu Kota Negara, ada yang sepi dari ke-adilan. Sunyi dari hadiah Sepeda kenegaraan. Saya mencoba menulis ulang kembali kondisi ini agar pemindahan tak semata soal Ibu Kota Negara, tapi soal keadilan untuk semua anak negeri. Tahun 2015 silam, saya memasuki daerah ini dan di Tahun 2019 di lini masa facebook ternyata kenyataan itu masih sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H