[caption caption="assets.kompasiana.com/statics/files/2014/09/20/14111687828075.jpg"][/caption]Irama dan gelombang pesona, munculnya pemimpin organik (non parpol) semisal Ahok di Jakarta, bagai gemuruh badai bagi rumah-rumah angkuh partai politik yang sejak kala dibangun dari megahnya berhala pragmatisme berpolitik. Badai itu, kini meluluh lantahkan sikap angkuh dan congkak partai politik yang kerap di gugu sebagai pilar penentu munculnya pemimpin-pemimpin baru dalam demokrasi.
Hembusan perubahan itu, menghempas wajah serta rupa partai politik. Tak ada yang tersisa, wajah partai politik kini tertunduk lesu mungkin pula bersimpuh di antara puing-puing kenyataan bahwa partai politik mengalami kegagalan meramu fungsinya.
1998-2016. Waktu yang cukup lama, Sejauh itu reformasi telah menggelindingkan harapan, tetapi selama itu, hikayat kebuntuan partai melahirkan pemimpin dari rahim politik adalah laku serta tutur yang tidak bisa dipungkiri pula. Perlahan waktu mulai menasbihkan, partai politik selalu hidup dalam jarak yang begitu jauh dengan masyarakat. Kini rupa lama partai politik purba itu perlahan tenggelam, ia karam diterpa badai politik baru. Sebuah badai dari politik kesukarelaan rakyat.
Setelah politik purba-pragmatisme perlahan karam, Peraliham musim semi politik pun tiba. Harapan perubahan yang dinanti kian lama, dijamu penuh harap oleh rakyat. Politik kini hadir dalam rupa lain. Ia tak lagi sepenuh paksa. Kini ia merupa politik kesukarelaan, ia menembus batas-batas suku, etnis, agama, serta daerah. Lihatlah semua itu, gegap gempita rakyat begitu meriah menjemput model kepemimpinan Ahok di jakarta. Mereka bersatu membangun kritik konstruktif atas gejala partai yang hanya menjadikan rakyat sebagai alat dalam demokrasi prosedural.
Tetapi, apa yang salah dengan politik kesukarelaan, partai tanpa malu kemudian menggugat dan besikukuh bahwa politik kesukarealaan sebagai sebuah upaya deparpolisasi. Aneh, tapi sebuah fakta, sengkarut pikir yang tak objektif di ajukan untuk meruntuhkan kebebasan berdemokrasi yang juga di junjung luhur dalam konstitusi berkebangsaan.
Stigmatisasi negatif politik kesukarelaan tersebut mengkristal penuh tajam, mungkin karena ladang perburuan kekuasaan mulai menyempit, dan partai politik tak mampu mengikuti irama dan pesona indah politik kesukarelaan yang muncul di tengah masyarakat.
Politik kesukarelaan rakyat mengusung calonnya tanpa jalur partai di tuduh sebagai sebuah upaya deparpolisiasi, ia mulai dihambat dengan kekerasan institusional yang dilakukan oleh partai politik, sebuah model kekerasan yang kerap menyejarah lewat kekuatan politik parlemen. Kekerasan institusional, muncul kepermukaan dalam wujud rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah untuk menambah persyaratan jumlah dukungan untuk calon perseorangan.
Senja kala partai politik, sebut mereka yang kian tak percaya dengan partai politik. Bukankah ditolaknya partai dalam tatakrama kehidupan politik, memberi ruang lain dari istilah deparpolisasi era otoritarianisme Soeharto dengan deparpolisasi di era demokratisasi pasca reformasi.
Deparpolisasi era otoritarianisme kala itu mahfum dipahami lahir dari gerak eksternal ditandai dengan tindakan rezim yang mengkrangkeng partai yang tidak berkuasa, saat itu psikologi masyarakat di tekan untuk menjauhi partai yang mereka gandrungi. Sedangkan deparpolisiasi era demokratisasi ditandai dengan gejala menyeruaknya pisikologi masyarakat yang mulai memilih menjauh secara sukarela dari partai politik untuk menentukan pemimpinnya.
Deparpolisasi dalam demokrasi adalah rupa yang di peroleh partai politik dari proses gerak alamiah partai politik. Tindakan partai politik yang menciptakan pola koruptif, politik transaksional, politik kekerabatan dan ketak mampuan menciptakan perubahan menjadi penyebab rakyat secara perlahan menjauhi partai politik, saat itulah deparpolisasi telah dilakukan oleh kader partai politik sendiri, perlahan partai mulai berada di jalan sunyi tanpa massa politik. Ada bunyi lonceng kehancuran jika partai tidak segera berbenah diri, dan masih saja terus mencipta deparpolisasi terhadap dirinya sendiri.
Dalam demokrasi, menyeruaknya psikologi masyarakat yang berada pada ambang jenuh terhadap tradisi partai politik, lalu memilih menjauh dari partai politik adalah ciri proses perjalanan demokrasi di tingkatan masyarakat yang mulai selangkah lebih progresif membangun kritik langsung pada partai politik.