Lihat ke Halaman Asli

Kaha Anwar

Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pertanyaan Tentang Manusia

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13437954601564565779

[caption id="attachment_203970" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: Dokumentasi Kaha Anwar"][/caption]

Manusia, dalam bahasa Tuhan, adalah makhluk yang unik. Sebab, manusia dapat saja mencapai derajat “ahsanu taqwim”, sebaik-baiknya ciptaan-Nya, tetapi di posisi lain dia juga bisa berada dalam derajat hina dina (asfala safilin), bahkan lebih rendah dari pada binatang! Kenapa hal ini berpotensi pada manusai? Kenapa kalau manusia “sesempurna” ciptaan-Nya tetapi suatu saat dapat anjlok dalam lubang hina?

Manusia itu banyak disinggung oleh Tuhan karena potensi yang dimiliki. Tak kurang-kurangnya Tuhan selalu menyenggol dan mengingatkan jika manusia bisa mengalami “pembolak-balikan” derajat. Hal ini tidak lain karena manusia merupakan makhluk “antara”: antara baik dan buruk, antara “nur” dan “nar”. Manusia diberi kebebasan untuk memilih posisi tersebut, dengan konsekuensi yang harus ditanggungnya sendiri kelak. Sejarah manusia dalam catatan agama pernah disujudi (atas perintah Tuhan) oleh malaikat yang notabene makhluk Tuhan yang paling taat. Tetapi, berkat keteledorannya manusia juga terhempas dari surga yang notabenenya tempat paling damai. Keterhempasannya bukanlah neraka tetapi dunia. Pertanyaannya, kenapa harus dunia sebagai pilihan Tuhan membuang manusia? Bukankah neraka tempatnya pengadilan atas kesalahan? Semua berjalan sesuai grand desaig Tuhan.

Bisa saja dunia pilihan Tuhan sebagai tempat kontemplasi, perenungan akan jatidiri manusia itu sendiri. Mungkin saja surga, dengan segala kemudahan dan kenikmatannya menjadikan manusia tidak sempat merenungkan siapa dirinya, untuk apa dia diadakan, mengapa harus surga sebagai tempat mulanya? Yang bisa saja diakhir perjalanan perannya manusia tidak akan kembali ke surga? Dunia prototype kecil surga dan neraka, pasalnya di dunia inilah ada suka dan lara, ada tawa dan duka. Banyak tantangan hidup di jagat “dunia” ini, yang kesemuanya perlu dijalani dengan segenap potensinya manusia, yakni akal.

Lantas, sejauh mana pencarian jati diri manusia itu ditemukan? Jika dihitung sejak pasangan manusia pertama (Adam dan Hawa) turun kedunia hingga kemajuan seperti saat ini, sudahkah ada kesimpulan tentang siapa manusia itu? Manusia itu merupakan homo homunis lupus, makhluk yang suka memangsa manusia lainnya. Ah, kok seperti binatang saja memangsa? Bukankah manusia itu bukan binatang? Manusia itu makhluk yang suka berkoloni, berpolitik dan ba bi bu lainnya. Sepertinya sekelompok binatang juga ada kok yang berperilaku demikian? Lantas, siapa manusia itu? Punyakah dia jatidiri sebagai manusia yang utuh tanpa mewakilkan kesimpulan di luar dirinya? Jangan-jangan manusia memang tak memiliki definisi tunggal?

Dalam jagat Jawa dikenal konsep sangkan paraning dumadi, yakni konsep tentang dari mana, ke mana, dan untuk apa manusia itu ‘ada’. Entah, apakah dalam konsep ini juga mencangkup ‘siapa’ manusia itu? Manusia dalam bahasa Al-Qur’an sering kali disinggung sebagai makhluk yang berasal dari air hina, debu, yang keluar dari tulang sulbi. Apakah kita akan berhenti dengan definisi yang bersandar dari asal-usul ini? Bukankah kata bijak mengatakan “man arafa nafsahu faqod ‘arofa rabbahu”, siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya!

Disaat masih kecil, saat bermain, ada pertanyaan teman yang membuat saya menangis. Sebab pertanyaan itu selalu tak tepuaskan dengan jawaban yang saya berikan. Pertanyaan itu sangat sederhana: “Siapa kamu itu?”. Ini pertanyaan anak kecil yang diajukan kepada anak kecil pula. Jika jawaban yang saya berikan: “Aku Anwar!”. Dengan cepat teman kembali melempar pertanyaan: Di mana Anwar?”. Saya menunjuk ke dalam, ke dada atau anggota tubuh yang lain. Tetapi kembali jawaban itu dipatahkan dengan pertanyaan: “bukankah itu dada atau anggota tubuh yang lain? Di mana anwar? Di mana manusia? Di mana “aku” yang berbalut dan mengejawantah dalam daging tersebut?

Sekiranya memang sulit menunjukkan “aku” tanpa menyandarkan pada sesuatu. Seorang professor jika Anda tanya siapa dia, tentunya jawabannya adalah aku adalah ‘fulan’ yang berprofesi sebagai professor. Seorang petani, tentara, pelajar, presiden, menteri, dokter, artis atau yang lainnya pastilah jawabannya menyandarkan pada sesuatu yang bukan dirinya, meski sesuatu pada saat itu disandangnya.

Kebingungan atas jawaban siapa manusia, siapa aku inilah yang dikritik dengan pedas tetapi jenaka oleh Walker Percy lewat bukunya “The Last Self-Help Book”. Percy memperlihatkan ironi yang tercipta dengan maraknya industry nasihat dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Percy bertanya: mengapa semakin banyak yang kita ketahui tentang dunia, justru semakin sedikit yang kita ketahui tentang sifat hakiki manusia? Mengapa dalam sepuluh menit Anda bisa belajar lebih banyak informasi tentang Crab Nebula di konstelasi bintang Taurus, yang jauhnya 6.000 tahun cahaya, ketimbang apa yang saat ini Anda ketahui tentang diri Anda sendiri, meskipun Anda terperangkap dengan diri Anda sendiri seumur hidup Anda?

Ditulis dengan gaya satir, Percy mencoba membongkar ‘topeng-topeng’ wajah manusia yang sekian hari sekian tebalnya. Hingga tertupi wajah ‘asli’nya. Begitu pula, Percy dengan jenaka mencoba membangun imajinasi bagaimana seandainya manusia yang memiliki peradaban tinggi di planet bumi atau malah di galaksi Bimasakti ini berharhadapan dengan makhluk luar angkasa dari planet Proxima Century (PC3), satu planet dari dua belas planet PC yang menyerupai planet bumi.

Pesawat Bumi yang dikendalikan oleh beberapa awaknya meminta izin mendarat di planet PC3, tetapi sebelum mendarat PC3 mengajukan pertanyaan yakni PC3 meminta kejelasan manusia itu golongan tipe C1, C2 atau C3? Berikut dialog antara manusia (Bumi) dengan aliens planet Proxima Century (PC3):

Pesawat Bumi: …Boleh kami mendarat sekarang?

PC3: Belum. Apa tipe-C kalian?

Pesawat Bumi: Apa itu kesadaran C2

PC3: Kesadaran C2 adalah kesadaran yang telah melewati tahap kesadaran C1 dan kemudian karena alasan tertentu jatuh ke dalam lubangnya sendiri.

Pesawat Bumi: Lubang sendiri?

PC3: …Bencana ini tampaknya ada kaitannya dengan penemuan kesadaran diri dan ketakmampuan menghadapinya, kesadaran diri menjadi disadari oleh dirinya sendiri tanpa mereka tahu apa yang mesti dilakukan dengan diri, bahkan tanpa tahu apa itu diri sebenarnya sehingga berakhir menjadi apa yang bukan semestinya, mengatakan apa yang tidak semestinya, melakukan apa yang tak semestinya, dan memperlakukan orang lain dengan tidak semestinya.

Pesawat Bumi: Apa maksudnya?

PC3: Bermain peran, menjadi orang gadungan, menipu diri sendiri, berbohong, berbuat curang, mencuri, dan membunuh. Itu semua belum lagi menyebut adanya kekacuan eksotik terkait perngkat reproduktif sebagai makhluk seksual.

Pesawat Bumi: Apa itu artinya?

PC3: Seks eksploitatif.

Pesawat Bumi: Seks eksploitatif?

PC3 (menelusuri kamu bahasa slang bumi yang sudah terkomputerisasi): Agaknya artinya serupa dengan apa yang kalian sebut dalam bahasa slang Inggris-Amerika: “screwing everything In sight” (“menyetubuhi apapun yang terlihat”),…

….

PC3: Tapi bisakah kalian melihat diri kalian sendiri? Siapa kalian? Siapa Anda?

Pesawat Bumi: aku perwira kedua, petugas komunikasi.

PC3: bukan, maksud kami, siapa diri Anda?

Pesawat Bumi: maksud kalian namaku? Kapten-

PC3 (dengan sabar): Bukan. Sudahlah. Kita langsung ke tipe-C saja. Apa tipe-C kalian? Apakah kalian C1, C2, atau C3? Kalian tak akan diizinkan mendarat hingga kita bisa menentukan tipe-C kalian.

Dialog ini terjadi sesungguhnya panjang, yang isinya mencangkup pembokaran siapa manusia yang dipahami seiring waktu dan bergulirnya peristiwa yang diciptakan dan dijalani manusia.

Percy, melalui buku ini, mengajak pembaca untuk merenungkan kembali ‘diri’, yang selama ini terbenam dalam ‘balutan kosmetik’ wajah, hingga tak jelas mana kulit mana bedak! Membongkar keanehan manusia yang dialami tetapi jarang disadari seperti: mengapa kebanyakan wanita, dan beberapa pria, menjadi korban mode; diri salah-simpan: bagaimana dua diri saling berhadapan satu sama lain dapat saling salah paham, yang satu saling menisbatkan prasangka yang keliru pada yang lain dan berupaya menyesuaikan dirinya dengan prasangka itu, sehingga kedua diri itu menjadi bukan diri lagi; permasalahan yang sering terjadi di sekitar kita: mengapa artis yang mapan secara material ternyata malah sering kawin-cerai, bunuh diri, dan masih banyak lagi.

Buku ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang menggiring kita untuk mengiyakan kesimpulan penulisnya (Percy). Meskipun berisi opsi-opsi jawaban, tapi tetap saja pilihan tersebut akan menjerat kita kepada kesimpulan tunggal, “bahwa selama ini kita memang cukup munafik”

Buku ini menjadi teman kita bertanya di tengah hiruk pikuk perilaku manusia yang seakan tidak pernah terpuaskan dengan penumuan yang saling susul. Kesibukan yang semakin mengajak kita ‘lupa’ dan ‘enggan’ sangkan paraning dumadi kita. Sepanjang tanpa ada kemauan dan kemampuan manusia untuk berefleksi, sepanjang itu pula apa yang ada di hadapannya selalu diidentikan sebagai masalah.

Sepanjang manusia tidak mau menengok ke dalam konstelasi alam nirsadarnya, sepanjang itu ia berada dalam keterasingan, kebingungan dan tersesesat di jagat raya ini. Manusia, mau tidak mau, harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial, yaitu, tentang makna kehadirannya di dunia. Karena melalui pertanyaan-pertanyaan itulah kita terus menerus dituntut untuk berefleksi. Kita dituntut cermat dan memaknai segenap peristiwa dengan penuh makna, sebagai symbol yang bantu mengarahkan siapa diri kita sebenarnya (Himawijaya, dalam pengatar Buku “The Last Self-Help Book”).

Jika setiap anggota tubuh adalah tanda, jika jalinan peritiwa adalah tanda, keagungan kosmos juga tanda. Sudah semestinya kita menyelam sebagai mana Bimasakti yang menyelam di kedalaman samudera dan kemudia menemukan diri kecilnya sebagai Dewa Ruci. Sebab yang kecil, yang inti ternyata memiliki keluasan lebih dibandingkan dengan alam yang tampak. Keluasan itu adalah diri, hati yang kecil tetapi karena diri, hati Tuhan mampu ditampung sekaligus dikenali.

Judul buku             : The Last Self-Help Book: Sebuah Perenungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir

Judul asli                : Lost In Cosmos: The Last Self-Help Book

Penulis                   : Walker Percy

Penerjemah            : Lucky Ginanjar Adiphurna

Penerbit                  : Jalasutra

Tahun terbit           : cetakan I, Juli 2006

Tebal                      : xxv + 330 hlm

ISBN                     : 979-3684-32-1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline