Misterius, itulah sosok pertama kali yang saya tangkap mengenai Syekh Siti Jenar. Bagaimana tidak? Syekh ini tidak seperti anggota wali songo lainnya, beliau hadir dengan wajah berbeda, dengan cara pandang berbeda bahkan dengan ajaran yang mungkin bertolak belakang dengan konsep dewan wali saat itu. mirip tokoh cerita, kehadirannya sengaja dimunculkan dalam alur cerita sebagai pengobok-obok kesantunan cerita.
Terlalu sedikit tulisan-tulisan yang menyimpan riwayat hidup dan ajarannya. Hal ini tidak lain, memang sejak dahulu Syekh merupakan sosok yang sebisa mungkin dilupakan dan diimagekan sebagai ulama yang keluar dari Islam, bahasa ekstremnya beliau telah murtad. Hal yang sangat biasa dalam percaturan sejarah: siapa yang kuasa maka dialah yang berhak menuliskan sejarah. Inilah history (His Story) cerita “dia”, bukan cerita aku, kamu atau kita. Betul-betul dia (baca: penguasa) yang punya hak untuk menuliskan alur sejarah dan merendanya sesuai dengan keinginan. Syekh adalah pihak kalah, tidak punya kekuasaan apapun, ia ditentang oleh pemerintahan demak yang didukung oleh dewan wali saat itu.
Sehingga sangat wajar, jika yang kita pahami sosok beliau adalah tokoh antagonis dalam proses penyebaran Islam di tanah Jawa. Cerita yang paling menyesakkan tentang Syekh adalah masalah kematiaannya. Masyarakat terlalu yakin dan menerima cerita-cerita yang berkembang bahwa kematiannya akibat dipancung oleh pemerintahan Demak dan jenazahnya berubah menjadi anjing. Anjing, dalam ilmu fiqihnya, merupakan salah satu binatang najis. Jika Anda tersentuh air liur anjing maka wajib hukumnya untuk mandi dan membasuh bekas jilatan itu dengan debu, pasir, endot sebanyak tujuh kali. Jika prosesi ini telah Anda lakukan itu artinya Anda kembali suci. Bahkan, ada yang menyatakan rumah yang ada anjing atau gambar anjing maka malaikat tidak akan berkenan memasuki rumah tersebut.
Suatu padanan untuk sebuah penegasan bahwa Syekh ajarannya benar-benar menyimpang, keluar dari garis besar Islam, sesuautu yang tak terampuni. Bahkan kematiaannya pun tidak layaknya manusia, meski manusia yang mati itu kafir, ateis, perampok atau para koruptor. Bahkan dalam sejarah Islam, dalam kehidupan Nabi SAW tidak ada penentangnya yang jenazahnya berubah menjadi anjing, keledai atau binatang-binatang yang najis lainnya. Fir’aun saja yang mengaku tuhan, mayatnya tidak berubah menjadi anjing. Lha ini, Syekh, kok begitu tragis sekali kematiaannya. Lantas, kita boleh bertanya, benarkah cerita itu?
Sedikit sekali buku yang mengulas tentang bagaimana sejatinya hal ihwal kematian Sang Syekh. Saya baru menemukan dua buku yang mengisahkan jalan kematiannya Sang Syekh. Pertama bukunya Abdul Munir Mulkan (maaf, lupa judulnya), dalam buku ini ditulis bahwa kematiaan Sang Syekh bukan dipancung, bukan pula jenazahnya menjadi anjing. Sebaliknya, sang Syekh memilih jalan kematiannya sendiri. seakan-akan Syekh ini memiliki pintu kematian yang sewaktu-waktu bisa ia buka. Begitu pula, jenazahnya hilang berubah menjadi sinar yang mengeluarkan bau harum memenuhi Masjid Demak. Jadi, tidak berubah menjadi anjing.
Buku kedua, adalah yang ditulis Argawi Kandito dengan judul “Pengakuan-Pengakuan Syaikh Siti Jenar”. Dalam buku ini ditulis bahwa kematian Syekh bukan dipancung bukan pula memilih jalan kematiannya sendiri melainkan Syekh mati selayaknya manusia biasa, beliau mati akibat sakit keras yang dideritanya. Bahkan dalam buku ini, tidak ada perseteruan antara Syekh, pihak kerajaan maupun dengan dewan wali.
Buku ini, yang di tulis Achmad Chodjim, tujuaannya bukan untuk ikut menelah kebenaran bagaimana syekh Siti jenar mati, dan apa yang terjadi setelah kematiaannya. Buku ini hadir lebih terfokus pada hal ihwal soal jalan kematian, yakni bahwa Syekh Siti Jenar tahu jalan kematiaanya. Tepatnya, buku ini hadir untuk menyelami makna “mati” dalam pandangan Syekh Siti Jenar. Sebab, melalui kematiaan inilah Syekh Siti Jenar betul-betul menjadi tersohor, berani mengatakan apa adanya, tanpa tedheng aling-aling.
Pandangan mengenai kehidupannya tak lepas bagaimana beliau memandang soal kematian. Pandangan beliau mengenai soal kehidupan sungguh kontroversial dengan orang-orang pada umumnya. Baginya: “Jalan saya tidak akan tersesat bila saya besok hidup, tidak merawak rambang (menduga-duga) bila saya katakan bahwa sekarang ini saya mati. Hidup saya di dunia ini menemukan wujud (keberadaan) jisim, tulang, sumsum, otot, serta daging...”.
Seakan-akan Beliau lari dari kenyataan, tak mau mengakui tarik ulurnya nafas bukan sebuah kehidupan. “dunia ini alam kematian”. Manusia yang hidup di dunia ini bersifat mayit, mati. Kehidupan sekarang ini bukan kehidupan sejati, karena masih dihinggapi kematian. Sepintas, pandangan ini seolah-olah tanpa didukung dalil Al-Qur’am dan hadist. Padahal dalam hadist disebutkan “manusia yang hidup di bumi ini sesungguhnya tidur, dan bangun ketika matinya”. Dan “sesungguhnya engakau itu mayit, dan mereka pun mayit”.
Hidup-mati bagaikan siklus yang terus berulang. Dalam Al-Qur’an (Q. S. 3: 27) Allah mempunyai kuasa untuk memasukkan siang ke malam, malam ke siang, mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Hidup dan mati juga analog dengan terjadinya siang dan malam. jika zat hidup itu menetes pada media kehidupan, maka terjadilah proses hidup. Jika ia sudah hidup di luar kandungan, maka ia mengalami proses kematian! Jadi, manusia itu sebenarnya “born to die” dilahirkan untuk menghadapi kematian. Kita makan dan minum setiap hari sebenarnya bukan untuk hidup. Tetapi, hanya untuk menunda kematian.
Pandangan yang menarik sekaligus kontroversial. Apakah ada kearifan dari pandangan ini, sehingga kita mampu mereguhnya sebagai pegangan, sebagai rambu-rambu dalam melangkah dalam kehidupan kita? Jika hidup yang kita alami sekarang ini adalah kematian, berarti saat ini kita berada dalam fase tidur, fase dorman. Tidur atau dorman merupakan fase di mana ketidaktahuan sedang kita alami. Selayaknya orang tidur yang tidak tahu apa-apa, tidak tahu kemana kita akan melangkah. Buktinya, banyak terjadi tipu muslihat dimana-mana, tipu menipu, koruptor, anarkisme, dan lain sebagainya. Seandainya kita tahu, kita hidup, kita bangun kejadian yang tengah terjadi ini tak perlu dialami. Maka ada kata-kata hikmah “bangunlah dari tidurmu”. Suruhan untuk “qum fa andzir”, bangun dan menyadari diri dan menyadarkan sekitar kita.
Membaca buku ini, kiranya bukan rasa grusa-grusu (keburu-buru) yang dikedepankan untuk menjustifikasi kebenarannya. Perlu perenungan, muhasabbah diri, lingkungan dan realita-realita yang tengah terjadi. Sehingga kita bisa menyimpulkan apakah buku ini, pandangan Syeh Siti Jenar benar?
Judul buku : Syekh Siti Jenar, Makna “Kematian”
Penulis : Achmad Chodjim
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Tahun Terbit : cetakan XVII, Juni 2011
Tebal : xxxii + 259 halaman
ISBN : 979-3335-24-6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H