Lihat ke Halaman Asli

Kaha Anwar

Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pendidikan Negeri, Wajahmu Kini

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1329446368626513398

Kita boleh berbangga dengan munculnya mobil nasional (mobnas) yang notabenenya merupakan rakitan anak-anak bangsa yang masih duduk di bangku SMK. Karya-karya anak negeri tersebut boleh dibilang menjadi penyejuk di tengah gurun pendidikan bangsa ini yang sungguh membuat kita haus terkapar. Mari kita cermati, hasil karya-karya itu muncul bukan dari sekolah pinggiran, tidak dari sekolah yang murah, yang minim fasilitas tetapi muncul dari sekolah yang memang ‘harga’nya mahal, dengan fasilitas modern yang berjibun, setidaknya sangat wajar jika karya itu lahir.

Namun jangan lupa, kita mempunyai banyak institusi pendidikan mulai SD-SMA yang perlu perhatian. Tanyangan Suara Liyan di TV nasional yang menyoroti permasalahan nasib pendidikan di Sanggau, Kalimantan, seharusnya menjadi titik fokus kebijakan pemerintah terhadap nasib pendidikan di pelosok, pedalaman negeri ini. Fasilitas pendidikan dan masalah guru menjadi masalah pokok yang perlu diselesaikan. Penyelesain tersebut tidak terhenti, saat pemerintah pusat menggelontorkan dana serta mengirim para guru ke daerah yang minim tenaga pengajar, melainkan harus ditelusuri lebih dahulu sosial kemasyarakatannya karena ini nantinya cukup berpengaruh betah atau tidaknya sang guru mengabdikan diri.

Pendidikan di negeri ini memang tidak mati, tetapi lebih pada kondisi ‘sakit’. Sakitnya itu lebih disebabkan karena kurang terawatnya nasib pendidikan negeri ini. Realitanya, di saat euforia wakil rakyat berencana menambah gengsi fasilatas istananya, dengan rencana proyek-proyek yang tidak signifikan, sedangkan di luar sana banyak gedung-gedung sekolah yang tinggal menunggu robohnya. Plafon-plafon sekolah jebol dan menimpa guru yang sedang mengajar. Guru-guru status tidak tetap harus ‘nyambi’ untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya kerena gaji mengajarnya sungguh kecil. Begitu pula dengan masalah budi pekerti pendidik dan peserta didik yang kian hari kian membuat kita mengelus dada karena prihatin.

Tepatlah kehadiran buku ini, sebab memotret berbagai kusamnya pendidikan kita. Ada beberapa point yang disoroti dalam buku ini mengenai nasib pendidikan sekarang ini.

Pertama, masalah anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan di negeri ini masih menuai kesenjangan. Kesenjangan itu terjadi antara penggelontoran dana untuk sekolah bertaraf internasional (SBI) dengan non-SBI. Pusat membiayai proyek SBI sebesar 50 persen, daerah 30 persen dan pemerintah kabupaten 20 persen. Sedangkan, nasib sekolah non-SBI, sekolah SBI tengah mengalami nasib tragis. Diantaranya kekurangan sarana prasarana belajar, guru yang minim, akses informasi yang senantiasa ketinggalan dan masih banyak permasalahan yang kini mengkusamkan wajah sekolah pinggiran.

Kedua, masalah kesejahteraan guru. Sudah menjadi rahasi umum, tingkat kesejahteraan guru di Indonesia sangat memprihatinkan. Penghasilan guru dipandang masih jauh dari cukup, apalagi guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagaian guru mencari penghasilan lain di luar tugas pokok mereka sebagai pengajar. Padahal pada pasal 14 ayat (1) huruf a UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen mengamanatkan bahwa dalam melaksanakan keprofesionalannya guru dan dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum.

Bagaimana dengan program sertifikasi, yang konon sebagai syarat untuk memperoleh tambahan penghasilan itu? nasibnya kinijuga tak pasti, para guru berduyun-duyun berebut sertifikasi tetapi tidak dibarengi dengan keprofesionalannya, hal ini pernah dikritik oleh Presiden SBY saat ulang tahun PGRI. Pertanyaan sekarang yang layak diajukan: bukankah entah PNS atau non-PNS, sertifikasi atau honorer, sama-sama mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa? Mengapa ada kesenjangan masalah gaji diantaranya?

Selain dua permasalahn di atas, masih ada dua permasalahan yang disoroti dalam buku ini. Salah satunya adalah mengenai budi pekerti. Budi pekerti menjadi pokok dari esensi pendidikan, pendidikan bukan semata mencerdasakan otak anak bangsa, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa sistem pengajaran harus bersifat memerdekan manusia dari aspek lahiriah, yaitu kemiskinan dan kebodohan. Sedangkan pendidikan lebih memerdekan manusia dari aspek hidup batin, yaitu otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik.

Buku ini layak dibaca bagi semua kalangan yang mempunyai kepentingan terhadap pencerdesan manusia Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang kini tengah berlangsung perlu ditilik kembali karena belum memadai dengan tujuan UUD 1945 sebagaimana yang tergambar dalam buku ini. Selamat membaca dan mengubah pendidikan kita!

Judul: Wajah Kusam Pendidikan Kita

Penulis:Edi Purwanto,dkk.

Penerbit:Program Sekolah Demokrasi bekerjasama dengan Averroes Press, Malang

Tahun Terbit:cetakan I, September 2011

Tebal:x + 101 halaman

Harga:Rp. 25.000;00

Khoirul Anwar

Muride Sunan Kalijaga

kaha.anwar@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline