Lihat ke Halaman Asli

Kaha Anwar

Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Adakah Manusia Sempurna?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328929598124142904

“Maaf, aku bukan sesempurna yang engkau harapkan!”. Atau, “Aku bukan nabi yang bisa sempurna, ku tak luput dari dosa.” Kata-kata yang sering kita dengarkan atau ,bahkan kita sendiri pernah mengucapkan.

Kata-kata “maaf”, “sempurna”, “nabi”, seakan-akan saling berkaitan dan berputar bak untain biji tasbih. Kata “maaf” sering kali cepat-cepat digunakan untuk menutupi kekurangan dirinya, alias ketidak kesempurnaannya. Di lain pihak, yang sempurna seakan-akan milik nabi saja, selain nabi, manusia tidak pernah mencicipi namanya kesempurnaan sebagai manusia. dengan kata lain, manusia, selain nabi, tidak pernah sukses berevolusi menuju maqom sempurna.

Benarkah manusia memang tidak bisa mencapai maqom kesempurnaannya sebagai makhluk yang bernama manusia. apakah “sempurna” hanya diperuntukkan bagi nabi? kesempurnaan nabi apakah hasil olah budi ataukah memang “begitu saja” Tuhan memberikan padanya? Lantas apa makna “ahsanu taqwim” bagi manusia sebagai makhluk yang diciptkan sebaik-baiknya diantara makhluk lainnya? Apakah kesempurnaan itu hanya berlaku saat dikomparasikan dengan makhluk Tuhan lainnya sehingga tatkala dia (manusia) berhadapan dengan sesamanya masih memiliki banyak tanda tanya tentang kesempurnaannya?

Pertanyaan selanjutnya, adakah manusia sempurna, selain nabi? kalau memang ada, siapa dia? Apa ciri-cirinya? Mungkinkah, sempurna itu bagaikan tempat tertinggi yang harus dicapai dengan pendakaian yang cukup sulit sehingga dalam perjalanan itu sendiri banyak yang gagal menjalaninya, tak ayal jika banyak manusia yang cepat-cepat meminta maaf ketidakberhasilannya mencapai derajat “sempurna” itu?

Menjadi manusia sempurna adalah keinginan setiap manusia, tidak peduli status sosialnya, jenis kelaminnya, ras sukunya, semuanya ingin menggapai manusia sempurna. Tentunya, kata sempurna tidak dapat lepas dari perjalanan tafsir manusia yang kait berkelindan dengan waktu, peradaban, dan kemajuannya di zamannya. Sekarang, kata sempurna, banyak digunakan hanya untuk merujuk ketidakpunyaannya masalah rupa, harta maupun jabatan. Dengarkanlah rintihan pemuda di hadapan pemudi atau sebaliknya, tatkala ditolak cintanya atau tidak bisa menuruti kemauan pasangannya reflek kata” sempurna” segera meluncur dari bibirnya. Sungguh mengenaskan sekali dan ini menunjukkan sesungguhnya begitu banyak manusia sempurna dan tidak sempurna, bagaiakan larahan daun dimusim kemarau.

Benarkah kesempurnaan itu hanya berkutat masalah rupa, harta dan sosial strata? Alangkah bijaknya jika kita membedakan antara “sempurna” dengan “lengkap”. Dalam bahasa, letak dua kata yang berarti “sempurna” (perfect) dan “lengkap” (complete) berdekatan satu sama lain, tetapi tidak persis sama dalam pengertian, dan kedua-duanya memiliki suatu pengertian antonim., yaitu cacat (defective). Kata “lengkap” merujuk pada sesuatu yang disiapkan menurut rencana, seperti sebuah rumah dan masjid. Jika setiap bagian dari kedua bangunan tidak selesai, ia disebuttidak lengkap atau kurang. Akan tetapi, sesuatu dapat disebut “lengkap” dan mungkin ada kelengkapan yang lebih tinggi atau banyak tingkatan yang lebih tinggi dari itu, dan itulah yang disebut “kesempurnaan”.

“Lengkap” adalah suatu kemajuan horizontal menuju perkembangan maksimum, sedangkan “sempurna” adalah pendakian vertikal menuju tingktan tertinggi yang mungkin.

Definisi sempurna yang menunjukkan tingkatan tertinggi, seseuatau yang ingin dicapai manusia berimplikasi melahirkan berbagai teori-teori tentang kesempurnaan manusia. mahzab-mahzab ini mencoba untuk memberikan “tanda” mengenai apa parameternya manusia mencapai maqom “Sempurna”. Pandangan berbagai mazab sehubungan dengan manusia sempurna bisa diringkas sebagai berikut.

Pertama, mahzab kaum rasionalis yang melihat manusia dalam aspek kualitas mentalnya, dan menggangap bahwa esensi manusia terletak pada pikiran dan fakultas rasionalnya. Pandangan ini, seorang manusia sempurna adalah seorang pemikir, dan kesempurnaannya ada pada filsafatnya. Persoalan etika dikendalikan dengan akal. Apakah akal Ada mendominasi dan mengendalikan nafsu, ataukah sebaliknya? Apakah akal Anda mendominasi kemarahan dan ketakutan Anda, ataukah sebalinya? Apabila Anda mampu berusaha memahami dunia melalui penalaran, dan mengizinkan akal anda mengendalikan diri, Anda adalah manusia sempurna.

Kedua, mahzab cinta atau gnostisisme (‘irfan). Dengan cinta dimaksudkan ibadah kepada Tuhan dengan penuh keintiman. Mahzah cinta adalah seluruh gerakan, yakni gerakan vertikal alih-alih gerakan horizontal, sekalipun pada tahapan selanjutnya ia menempuh arah horizontal. Kalangan pecinta Tuhan ini tidak percaya pada penalaran dan perenungan sebagai sarana kemajuan; cinta adalah spirit manusia yang memajukan sampai ia mencapai Tuhan. Monoteisme mereka adalah kesatuan eksistensi, yang mengambil bentuk kebenaran mutlak ketika manusia mencapai posisi itu. Artinya, seorang manusia sempurna menjadi Tuhan secara ultimat atau bagian dari-Nya.

Ketiga, mahzab kekuasaan. Pandangan mengenai manusia sempurna adalah kesempurnaan manusia tidak bergantung pada akal rasional ataupun cinta, melainkan pada kekuasaan, yang bermakna daya, kekuatan, atau yang serupa. Pada era Yunani Kuno, ada sekelompok orang yang disebut kamu Sofis, yang terang-terangan menyatakan bahwa kekuasaan adalah kebenaran, sedangkan kelemahan adalah tiadanya kebenaran. Jadi, keadilan dan ketidakadilan tidak punya makna apa-apa bagi mereka lantaran kekuasaan adalah kebenaran dan setiap manusia sedang berupaya untuk mendapatkan kekuasaan tanpa syarat atau batasan apa pun.

Selain tiga mahzab, masih ada pandangan seputar manusia sempurna. Ada yang mengatakan kesempurnaan manusia terletak pada kelemahannya. Apabila ia memiliki kekuasaan, ia akan menunjukan penyerangan. Cinta dan realisasi diri, begitu mahzab lain membuat parameter, merupakan pijakan utama seluruh pencapaian manusia. apabila manusia mampu mengendalikan dan mendominasi dirinya, sangat mungkin terjadi ia mampu untuk mendominasi segala sesuatu yang lainnya.

Inilah pusparagam pandangan yang telah diekspresikan seputar manusia sempurna. Masing-masing mahzab memberi batasan, tanda-tanda kapan manusia bisa disebut manusia sempurna. Buku ini yang ditulis Murtadha Muthahhari mencoba menganilis pandangan-pandangan berbagai mahzab tersebut. Penulis buku ini mencoba mengkomparasikan teori-teroi dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya Al-Qur’an dan Sunnah memberikan gambaran tentang manusia sempurna dengan keistimewaan-keistemewaannya, yang dinamakan mukmin sejati atau muslim sejati. Cara lain adalah dengan memuliakan individu-individu nyata yang dididik berdasarkan model Al-Qur’an dan Sunnah, bukan wujud imajiner dan idealistik, melainkan suatu pribadi yang nyata dan objektif yang eksis di berbagai tahap kesempurnaan dan level tertingginya atau bahkan sedikit pada level terendahnya.

Cinta, akal, keadilan, kebebebasan, pelayaan kepada sesama, dan ibadah adalah nilai-nilai kemanusiaan. Lantas, siapakah manusia sempurna itu? apakah ia seorang ahli ibadah, atau zuhud, atau orang merdeka, atau ahli pecinta, atau pemilik akal? Tak satu pun dari semua ini berujung manusia sempurna. Namun, apabila semua nilai kemanusiaan ini dikembangkan pada dirinya dalam cara yang harmonis, ia dapat dipandang sebagai manusia sempurna.

Manusia adalah manusia yang memiliki potensi kemalaikatan dan kebumian, karena manusia merupakan kombinasi keduanya, yang bisa naik ke derajat malaikat atau sebaliknya, anjlok ke level hewaniyah. Manusia, oleh Tuhan, telah diberi kemampuan (talenta) dan dibiarkan bebas memilih ganjaran atau hukuman melalui perbuatan-perbuatannya itu, sementara maklhuk lainnyatidak mempunyai kepantasan semacam itu. manusia mesti memilih cahayanya sendiri dan memperoleh kesempurnaan melalui kesahajaan dan kesetimbangan serta menggunakan seluruh talentanya.

Judul Asli:Perfect Man

Judul : Manusia Sempurna, Nilai dan Kepribadian manusia pada Intelektualitas, Spiritualitas dan Tanggung jawab Sosial

Penulis:Mutadha Muthahhari

Penerbit: Rausyan Fikr, Yogyakarta

Tahun Terbit:cetakan 2, edisi khusus Maulid Nabi Muhammad SAW. 1433 H.

Tebal:155 halaman.

kaha.anwar@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline