Lihat ke Halaman Asli

Mata-mata Malam Pertama

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326853820296714098

Judul : Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin Penulis : Sunardian Wirodono Penerbit : Diva Press, Yogyakarta Tahun Terbit : cet. II, 2009 Tebal :510 halaman Kategori : Fiksi (novel) Malam pertama, tentunya menjadi malam terindah bagi sepasang pengantin. Siapapun dia, tak peduli strata sosialnya, bentuk tubuh pasangannya, ranjang pengantinnya, suasana sekitarnya. Malam pertama tetap menjadi malam milik pribadi, orang lain gak usah ikut, tak ada berbagi dengan loe. Malam pengantin, malam bertemunya antara cinta dan hasrat yang lama dipendam. Seakan malam inilah dua pasang insan baru mendapat legal formal, baik dari agama maupun adat-sosial, untuk memadu kasih. Tak ada yang melarang, mencibir atau mengolok-olok bahwa apa yang dilakukan di malam itu merupakan perbuatan yang tak terpuji malah sebaliknya jika sepasang pengantin tak melakukan 'itu' tentunya hal lucu dan menjadi pertanyaan besar: bisa gak ya? Sebetulnya cinta gak ya? Malam pertama memang menjadi malam pribadi, namun apakah orang lain akan tinggal diam membiarkan sang pengantin memadu kasih seorang diri? Tidak, orang lain tentunya ingin tahu. Tahu soal apa? ya kalau bukan 'itu' apalagi?! Cerita-cerita ranjang pengantin memang selalu ditunggu, meski para penunggu ini tahu kalau itu hal yang tabu, tetapi mbok yao kecipratan sedikit ceritanya tentu asyik. Bahan pembicaran waktu petan. Apalagi jika masyarakat sang pengantin masih menjunjung tinggi soal noda perawan, tentunya menambah asyik saja gremengan-gremengan yang terjadi di masyarakat. Entah apakah noda perawan bagi mereka sebagai simbol kesucian, keterjagaan sang perempuan dan baru pecah saat malam pertama ataukah noda perawan hanya aling-aling untuk menutupi gosip saja, yang jelas banyak yang ingin tahu soal 'noda perawan'. Lantas siapa yang patut mengintip malam pertama? Orang tuanya? Ah rasa-rasanya sangat tidak sopan jika orang tua pengantin harus nimbrung mengintip malam pertama anaknya, apalagi sang orang tua harus menceritakan kepada orang lain. sungguh tidak pas. Lalu siapa yang patut menjadi mata-mata? Dalam novel ini adalah Centhini, seorang centhi, emban atau PRT dari sang pengantin (Tambangraras dan Syeh Amongraga). Centhini bukan pembantu biasa yang hanya meladini bendaranya tetapi lebih mirip saudara angkatnya, begitu dekat dengan bendaranya. Selain itu, Centhini masih remaja, perawan kencur car-cur. Orang tua yang jumawa menyebutnya masih bayi wingi sore. Belum tahu apa-apa. masih ingusan. Mengurus ingus saja belum bisa, apalagi yang lainnya, menstruasi saja belum tahu. Tipe orang seperti Centhini tepat untuk menjadi telik sandi malam pertama. Toh, untuk mengintip malam pertama tidak perlu orang yang dewasa dan pintar, yang penting jujur apalagi polos. Inilah alasan kenapa Centhini menjadi mata-mata. Tugas baru baginya: merekam bendaranya memadu kasih. Centhini yang polos tak tahu bagaimana caranya mengetahui kelakuan suami istri: apakah harus ikut di dalam kamar pengantin, melihatnya? Ataukah mengintipnya? "Hush. Kau berada di luar kamar, tunggui di depan pintu, dan dengarkan apa yang terjadi..."Nyi Malarsih memberitahu Centhini. Nyi Milarsih merupakan ibunya Tambangraras. Tugas malam pertama dimulai. Saat mengantarkan makanan Centhini tak melihat noda perawan di atas kain putih yang tergelar di atas tempat tidur seperti yang dikatakan banyak orang demikian juga pakain kedua pengantin juga masih utuh. Malah sebaliknya yang dia dengar malah sang pengantin "ngaji", Syekh Amongraga mengajarkan ilmu agama kepada istrinya, Tambangraras. Sungguh tak mengasyikkan. Malam-malam seterusnya juga begitu, tak ada suara rintihan, desahan atau amben jebol yang terjadi. Sungguh malam pengantin yang aneh. Sebaliknya malam-malam itu hanya berisi pengajian, pengajaran dari Amongraga tentang syari'at, hakekat dan makrifat hingga subuh. yang ada hanya khutbah.khutbah. khutbah. Apakah tidak menjemukan? Membosankan? Centhini bosan. Bukan bosan menjagai tuan putrinya, tetapi lebih pada pertanyaan para perempuan yang ditemuinya apalagi ibunya Tambangraras yang selalu menanyakan apakah sudah ada noda perawan ? apakah sudah nganu dan dianu? Hah..pertanyaan yang membosankan. Bukannya tak mau menjawab tetapi betul-betul tak ada jawaban untuk itu. tak ada cerita yang mengasyikkan sebgaimana yang orang lain harapkan, yang ada hanya ngaji dan ngaji. Centhini merasa bosan dengan tugasnya, yang hanya menjadi telik sandi untuk memuaskan gosip, memuaskan hasrat cerita nafsu birahi yang sebetulnya belum tentu diminati oleh sang pengantin. Di saat orang lain lelap tertidur, dia harus siaga di depan kamar pengantin: nguping sang pengantin. Besok paginya orang-orang berduyun-duyun bertanya denga pertanyaan yang sama: soal noda perawan. "Mereka tidak memiliki hak untuk itu. mereka hanya menginginkan pembenaran dari semua yang dipergunjingkan. Hanya itu yang mereka butuhkan. Bukan untuk mendengarkan orang lain, melainkan untuk mendengarkan orang lain, melainkan mendengarkan dirinya sendiri. hanya orang yang tidak memiliki jati diri yang selalu meminta orang lain memperhatikan dirinya. Hanya dengan cara itu, mereka merasa ada di dunia ini. Karena itu, kenapa kau mau menjadi alat dari semua itu? kau tidak perlu melaporkan semua yang kau ketahui pada orang lain. apalagi, jika itu hanya akan menjadi penguat bagi bahan gunjingan mereka. Soal Syekh Amongraga dan Tambangraras bukan sekedar soal dua lelaki dan perempuan yang masuk ke kamar pengantin, dan sebagaimana para pengantin lainnya..." Memang benar adanya, Centhini tak menemukan cerita apa-apa dalam tugasnya. Kedua mempelai bukan seperti pengantin lainnya. Malam-malamnya soalah wejangan seorang syekh pada muridnya. Malam pengantin menjadi malam transfer ilmu. Sedangakn centhini yang mulai bosan mulai sadar dengan yang dihadapinya. Lebih baik menjadi murid gelap Syekh Amongraga daripada harus menjadi telik sandi yang tak jelas. Untuk apa jika hanya menjadi pemuas gosip orang lain, lebih baik mereguk ilmu sejati. Alur yang tersaji dalam novel ini, saya tidak menemukan adegan ranjang yang bisa membuat pembaca tegang atau sedikit menggigil, kalaupun ada cepat-cepat penulis mengakhiri dengan meminjam watak Centhini yang masih cilik itu. sejauh yang saya tahu, Serat Centhini selain berisi pengajaran tentang laku hidup yang berisi ajaran syari'at, hakikat dan makrifat juga menceritakan tentang adegan-adegan yang mengudang desir darah nafsu. Inilah daya tarik tersendiri dari novel ini, meski tidak menggambarkan sepenuhnya serat centhini versi aslinya namun novel ini tetap menyajikan dari inti serat itu yakni ajaran kehidupan: tentang sangkan paraning dumadi. selain itu, novel ini lebih menekankan pemberontakan kaum perempuan tentang cara pandang terhadap perempua yang selalu menjadi obyek kajiab, yang harus dinilai, yang sekedar alat, ditanya kesuciannya, kok tidak ada pertanyaan apakah pengantin laki-lakinya masih perjaka atau tidak, malah yang ada apakah perempuannya masih perawan atau tidak dengan bukti noda perawan tadi. Apakah noda perawan cukup menjadi alat yang syah kalau si perempuan memang masih perawan? Bukankah selaput dara itu tergantung keelastisannya? Silahkan pembaca mengkaji sendiri dari novel ini dan mencoba menambah pengetahuan dari buku-buku yang lain soal "keperawanan". Selamat membaca. Khoirul Anwar kaha.anwar@gmail.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline