Lihat ke Halaman Asli

Kaha Anwar

Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Ada Berapa Ruyati Di Sana

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ruyati binti Satubi, 54 tahun, nenek yang menjadi tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi dihukum pancung oleh pihak Kerajaan Arab. Hukuman itu dijatuhkan atas kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ruyati terhadap majikannya. Ruyati didakwa membunuh majikan perempuannya dengan pisau dapur karena merasa tidak betah dengan sikap majikan yang terlalu kasar terhadap dirinya. Pisau dapur tersebut harus ditebus Ruyati dengan sabetan pedang tajam para algojokerajaan Arab. Yang tragisnya pihak Indonesia tidak tahu menahu soal eksekusi tersebut bahkan jenazah sang nenek tersebut sudah terlanjur dimakamkan di sana. Sikap negara kita lamban dalam mengurus sekaligus melindungi para TKI yang berada di luar negeri, begitu penilaian banyak kalangan. Walau pada akhirnya Indonesia protes terhadaap negara minyak tersebut, itupun karena santernya berita media massa yang memberitakan kematian Ruyati dan menyoroti sikap pemerintah selama ini.

Ruyati hanyalah sepenggal peristiwa yang mencuat di permukaan dan tertangkap media massa sehingga keberadaannya dapat dan menjadi bahan perbincangan maupun debat banyak kalangan. Masih banyak Ruyati-Ruyati lain yang tidak ter-cover oleh media maupun duta-duta negara ini. Di luar sana terlalu banyak TKI yang menghadapi dan menunggu seperti nasibnya Ruyati. Perlindungan terhadap oleh pemerintah kita memang perlu dilakukan, dan itu sudah menjadi tanggung jawab para penyelenggara pemerintahan ini yang di tangannya mempunyai kekuasan dan “ idu geni” untuk bernegosiasi dengan negara-negara yang di situ ada banyak TKI kita.

Tanpa turut campurnya pemerintahan dalam membela nasib para TKI, mustahil mereka mampu keluar dari jeratan yang tengah dihadapi. Apalah arti TKI kita di mata negara yang, mungkin, masih menyamakan tenaga kerja dengan budak, sungguh tak berdaya. Pemerintah kita harus cancut taliwondo untuk segara menyelasaikan permasalahan yang menjerat para pahlawan devisa tersebut. pemerintah harus segara tampil sebagai pembebas bagi TKI, jangan malah bersikap seolah-olah Tuan yang seenaknya membuat regualasi jual beli tenaga kerja.

Kebijakan pemerintah mengenai seputar tenaga keja memang perlu diperhatikan, kalau bisa dibuat seketat mungkin mengenai pengiriman tenaga kerja kita keluar negari. Selain itu, harus ada jaminan dari pemerintah bahwa negara ini akan turut campur dalam setiap problem yang dihadapi para tenaga kerja. Namun, ada baiknya jika kita, setiap manusia yang mendiami negara ini, menilik kembali tentang kita. Tentang budaya kita. Tentang nasib ekonomi kita di tengah gempuran-gempuran perdagangan bebas yang mirip monster. Segmen-segmen inilah yang seharusnya ditelaah, dibicarakan kembali oleh diri kita, bangsa, dan pemerintah yang memegang kendali atas nasib bangsa ini. inilah bagian yang menjadi bahan perenungan bagi kebijakan pemerintah untuk melindungi dan memperjuangkan hak setiap anak negeri untuk memperoleh kehidupan yang layak. Selama ini yang dibicarakan hanyalah pengaturan masalah ketanagakerjaan di luar negeri saja, tidak menyentuh yang lebih dalam dari itu.

Pertanyaan “mengapa” jarang terlontar oleh pengambil kebijakan, yang ada hanyalah “bagaimana” saja. Bagaimana mengatur tenaga kerja kita. Bagaimana cara melindungi tenaga kerja dari keangkuhan wajah majikan dan negara tempat mereka bekerja. Yang tragisnya adalah “bagaimana” para pahlawan devisa ini bisa meraup sebanyak-banyaknya mata uang asing yang kemudian bisa menambah cadangan devisa negara, yang ujungnya hanyalah penggelembungan kantong para makelar tenaga kerja.

Seharusnya pertanyaan “mengapa” manjadi bahan pertimbangan bagi kita semua, khususnya pemerintah ini. mengapa banyak warga negara yang rela bekerja di luar negeri? Padahal tantangan di negeri seberang mengerikan, apalagi kalau ke sananya hanya menjadi “buruh’. Itu tak lebih seperti “kutuk marani sunduk”. Ada apa dengan warga negera kita? Ada apa dengan negeri ini, yang katanya zamrud kwatulistiwa, yang “tongkat dan batu” mampu jadi tanaman. Sumber daya alam yang melimpah ruah. Bukankah kalau “kata-kata sanjungan” itu benar adanya, seharusnya warga negara ini bangga dan betah mengais rezeki di negeri sendiri? apakah ada yang salah dengan kebijakan pemerintah terhadap tatanan ekonomi negeri ini?

Saat masalah Ruyati mencuat, saya mencoba menanyakan sama teman, kira-kira faktor apa yang menyebabkan kebanyakan dari kita rela menjadi buruh di negera lain? Jawabannya karena faktor ekonomi, tepaksa, tergiur gaji besar untuk mencukupi kebutuhan. Factor pendidikan dan merasa kurang keahlian juga turut menjadi penyebab tergeraknya mereka rela “kerja buruh” di luar negeri. Ada benarnya juga jawaban teman saya, tetapi hemat saya masih ada akar yang sebenarnya menimbulkan faktor-faktor tersebut tumbuh. Dengan bahasa agak jlimetnya: “akarnya akar” lah yang menyuplai dan mempengaruhi cara pandang masyarakat kita sehingga tergiur dengan fakto-faktor seperti yang telah disebutkan teman saya.

Kalau kita cermati perkembangan ekonomi di negeri ini sangatlah memilukan. Ekonomi kita sebetulnya sudah tak pas lagi disebut dengan ekonomi pancasilais, kerakyatan dan kekeluargaan. Ekonomi kita tak lebih ekonomi terpimpin. Dikuasai oleh segelintir orang maupun kelompok. Ekonomi perusahaan terbataslah yang sekarang tumbuh di negeri ini. sistem inilah yang sekarang berjalan dan menguasai setiap barang kebutuhan masyarakat, mulai ujung rambut sampai jempolan kaki. Ditambah dengan adanya pasar bebas dan kebijakan pemerintah yang cengeng seolah-olah melempangkan jalan pelibasan jalan ekonomi masyarakat , khususnya kaum akar rumput.

Tengok dan hitung ada berapa jumlah warung-warung modern yang kini mulai menancapkan cakarnya di desa-desa. Berapa banyak jumlah pasar-pasar modern yang berdiri angkuh di samping pasar tradisonal kita. Ada berapa pedagang kita yang masih bertahan oleh gempuran-gempuran “pedagang gerombolan” itu. siapa pemilik warung dan pasar modern itu, adakah dari pihak kita, adakah dari kaum bawah yang ikut andil dalam pengelolaannya. Siapa yang bekerja di dalamnya, adakah nenek-nenek yang ikut berdagang? Tidak ada kawan, yang ada manusia kinyis-kinyis, berparas cantik yang wajahnya marketable, yang bisa menyedot pembeli. Lantas bagaimana sikap pemegang tampuk kekuasan negeri ini? pembaca lebih tahu untuk memberi jawaban dan menilainya. Saya menilainya terlalu lembek dalam membuat kebijakan yang melindungi perekonomian rakyat kita.

Warung dan pasar modern sebetulnya bisa saja tidak menjadi monster bagi ekonomi warga akar rumput asal ada simbiosis mutualisme. Ada hubungan yang saling menguntungkan. Para pasar modern ini memasok barang-barangnya dari masyarakat sekitar, tentunya akan menambah nilai dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk turut andil dalam memajukan perekonomian negeri ini. keyataannya jarang sekali pasar-pasar modern itu menggaet barang lokal, yang ada malah barang-barang impor, barang luar negeri yang membanjiri lapak dagangannya.

itu dari sisi nyata, sisi yang nampak di lapangan. Padahal iklan media massa yang isinya bikin ngiler pun turut andil jomprongke masyarakat. Media massa kini tengah dililit oleh kapitalisme yang entah di sadari atau tidak oleh pemiliknya. Realitanya begitu, iklan menjadi tulang punggung kehidupan bagi media massa. Syangnya iklan tersebut sungguh tidak mendidik, tidak mendewasakan masyarakat untuk “memilih” melainkan mirip seperti dogma yang diindoktrinisasikan ke masyarakat luas. Masyarakat terusdiajari mengonsumsi barang-barang yang diklaim modern, gaul dan kata-kata lainnya. Jika tidak mengikuti trend maka akan ketinggalan zaman. Dan nyatanya banyak dari kita yang kehilangan jati diri kita. Seolah-olah hidup kita bukan milik kita, melainkan hidup yang “diinginkan” dan “dijadikan” oleh orang yang berada di atas kita. Hanya sedikit orang yang bisa “menjadi” sesuai yang diinginkan oleh dirinya sendiri.

Ruyati hanyalah salah satu sosok yang berada dalam cengkeraman tangan-tangan yang terselubung. Bagi Ruyati dan TKI yang lainnya, kepergiannya ke luar negeri menjadi “buruh” bukan karena menginginkan gelar “pahlawan devisa” atau penghargaan dari badan tenaga kerja. Para Ruyati ini bekerja karena kebutuhan dan tuntutan yang sedang mengejar mereka. Mereka ingin hidup layak, punya kemewahan, bisa membahagiakan anak dan keluarganya. para Ruyati ini rela menjadi “buruh” di luar negeri disaat negara ini tak mampu lagi menyediakan atau melindungi mereka bekerja. Disaat negara tak memberi kepastian rasa keadilan dan kenyamanan dalam usaha ekonomi rakyatnya. Disaat para pemegang tampuk kekuasaan negei ini masih menjadi kepanjangan dari “tangan-tangan gurita” yang hanya ingin menguras kekayaan bangsa ini. Di saat itulah para Ruyati masih dan tetap akan rela menjadi “buruh” di luar negeri meski di negeri seberang itu banyak algojo-algojo yang menanti..karena dapur harus tetap mengepul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline