Lihat ke Halaman Asli

Kafu Rochman

Mahasiswa Hukum

Kawin Sirih: Kedudukan Istri dan Anak

Diperbarui: 2 April 2023   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aturan perkawinan lebih lanjut sudah ada tertulis di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, namun aturan tersebut tidak mengatur mengenai perkawinan sirih. Satu hal yang pasti, terjadinya perkawinan memunculkan akibat hukum. Dalam kasus kawin sirih, hukum positif Indonesia tidak mengatur dan tidak mengakui secara sah. Kawin sirih terjadi bukan tanpa alasan. Terjadinya kawin sirih dipengaruhi oleh beberapa sebab, diantaranya menghindari zina, sulitnya mendapat restu dari orang tua, dan hamil di luar nikah.

Tidak dicatatkannya pernikahan tidak akan pernah mendapatkan perlindungan hukum dan tidak memiliki akibat hukum yang pasti. Jika dilihat dari prespektif agama memang, kawin sirih diakui (sah karena telah memenuhi unsur-usur rukun dan syarat perkawinan dalam agama islam), namun timbul persoalan apabila pernikahan tersebut tidak dicatatkan. Maka dalam prespektif hukum positif Indonesia seorang istri mendapat status sebagai istri tidak sah, dan istri beserta anaknya tidak mendapatkan hak atas nafkah dan harta peninggalan dari suami jika suaminya menceraikannya, sebab secara hukum, pernikahan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. 

Tidak adanya akta nikah dari kedua orang tua tidak dapat pula mendapatkan akta kelahiran untuk sang anak. Maka timbulah isu hukum mengenai kedudukan status istri dan anak tersebut. Apakah istri dan anak tersebut memiliki status hukum?

Perkawinan adalah pertalian antara laki-laki dengan wanita secara sah. Perkawinan ialah pertalian lahir batin antara  laki-laki dengan wanita sebagai suami dan istri dimana suami dan istri tersebut menginginkan keluarga yang bahagia dan kekal berlandaskan Ketuhanan Yang Mahaesa. Perkawinan dinyatakan sah andaikata itu dicatatkan dan dilangsungkan menurut hukum agamanya. Syarat yang harus terpenuhi jika melakukan perkawinan antara lain :

  1. Harus dilandaskan atas kesepakatan dari kedua calon mempelai;
  2. Berusia 19 (sembilan belas tahun) bagi kedua calon mempelai;
  3. Wajib mendapatkan izin dari kedua orang tua atau wali apabila belum berusia 21 (dua puluh satu tahun);
  4. Andaikan salah seorang atau keduanya di bawah usia 19 tahun boleh mengajukan dispensasi kawin ke pengadilan disertai alasan dan didukung dengan bukti yang cukup;
  5. Bukan merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menikah.

Perkawinan dilarang bagi pihak yang :

  • segaris keturunan ke bawah, ke atas, dan menyamping;
  • pertalian keluarga yang semenda dan sepersusuan;
  • peraturan lain yang mengatur hubungan larangan kawin oleh agama

Jika menyoal sahnya pernikahan, ada dua aspek  yang harus dipenuhi. Aspek agama dan aspek negara (secara hukum). Dinyatakan menurut pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, dianggap absah perkawinannya jika sesuai dengan hukum agama atau kepercayannya (aspek agama), dan harus dicatatkan setiap perkawinan (aspek hukum). Dikuatkan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Dikatakan perkawinan itu sah jika sesuai dengan aturan yang ditentukam agama islam dan setiap perkawinan harus didaftarkan untuk mendapatkan kepastian hukum.

Dari sini tidak disebutkan bahwasannya apabila perkawinan tersebut dilakukan secara agama maka dinyatakan tidak sah. Meskipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan tetap dianggap sah secara agama, namun yang harus diperhatikan pencatatan perkawinan ialah semata-mata untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari segi aspek hukum. Pencatatan ini diperlukan untuk mendapatkan akta perkawinan sebagai bukti bahwa pernikahan tersebut ada dan pernah dilakukan. Hadirnya akta perkawinan sangat  penting bagi kedudukan seorang istri dimata hukum.

Kedudukan istri kawin sirih

Akibat hukum yang diperoleh bagi istri yang dinikahi secara sirih adalah dianggap sebagai istri tidak sah secara hukum. Istri tidak mempunyai hak nafkah dari suaminya apabila jika terjadi perceraian. Jika mengajukan gugatan maka akan sulit karena dari awal pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada. 

Maka untuk melindungi istri dari ketidakpastian hukum, disarankan untuk mengajukan isbat nikah (pengesahan nikah) ke pengadilan agama agar mendapatkan perlindungan hukum. Dengan demikian, kawin sirih dinyatakan sah secara agama namun oleh negara tidak diakui sebab tidak dicatatkan pernikahannya, akibatnya seorang istri dianggap sebagai istri tidak sah secara hukum. 

Kedudukan Anak dalam perkawinan sirih

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline