Lihat ke Halaman Asli

Kafi Kurnia

TERVERIFIKASI

Ekonomi Sampah

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391934931337207432

[caption id="attachment_321527" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Belum lama ini, Wakil Gubernur Jakarta masuk berita gara-gara truk sampah. Permintaan untuk mengadakan truk sampah baru untuk Jakarta menjadi polemik. Dan sampah menjadi komoditi politik. Teman saya yang kebetulan seorang ekonom tertawa terbahak-bahak. Karena bagi sebagian orang sampah tidaklah penting. Bagi yang mengerti sampah masalah ini bukan saja sangat serius tetapi super serius.

Seorang ahli sampah dari Kanada, mengatakan kepada saya, bahwa Jakarta ibaratnya bom waktu. Karena masalah lingkungan Jakarta telah berada pada titik yang sangat kritis. Tahun 2013, konon akibat banjir sebulan kita semua merugi 20 trilyun rupiah. Tahun 2014, perkiraan-nya lebih sedikit yaitu hanya 12 trilyun rupiah. APBD kota Jakarta setahun hanya sekitar 70 trilyun rupiah. Jadi kerugian banjir Jakarta tiap tahun bisa berkisar antara 15% - 20% setara dengan APBD Jakarta tahunan. Belum lama ini Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Mohamad Hasan, mengatakan program pengendalian banjir kota Jakarta masih berjalan. Dia mengatakan program ini dimulai Juni 2012 hingga 2017. Dan biayanya kurang lebih Rp. 13,5 trilyun. Artinya tiap tahun perlu dana 2 trilyun lebih. Kepala BNPB Syamsul Maarif mengatakan biaya penanggulangan banjir Nasional yang 100 milyar, dan BNPB menyiapkan Rp 50 miliar untuk DKI Jakarta saja. Ini baru yang ketahuan karena dibayarkan Pemerintah. Kerugian materi dan non materi yang diderita oleh warga Jakarta sangat besar dan tidak terukur.

Hingga Kamis 23 Januari 2014, Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta melansir data pengungsi banjir di Ibu Kota mencapai 79,614 jiwa. Jumlah pengungsi terbanyak ada di wilayah Jakarta Barat dan paling sedikit ada di Jakarta Pusat. Sementara lokasi pengungsian paling banyak ada di Jakarta Timur yang mencapai 106 lokasi dan total pengungsian di DKI ada 305 tempat. Dan apabila tiap warga menghabiskan biaya yang setara dengan UMR Jakarta yang sebesar 2,4 juta rupiah maka biaya makan, pengobatan, akomodasi, dll bisa setara dengan 192 milyar rupiah. Andaikata semuanya dirinci dan dijumlah dengan produktifitas Jakarta yang hilang selama lebih dari sebulan, saya yakin jumlahnya diatas kerugian 12 trilyun rupiah yang diberitakan di mass media.

Masalah sesungguhnya sebenarnya bukan dari uang semata. Tetapi jauh lebih serius. Pertama kerusakan ekologi dan lingkungan Jakarta sudah melewati ambang batas. Seorang wartwan pernah mengolok saya, katanya bukti tak terbantahkan bahwa kerusakan ekologi dan lingkungan Jakarta sudah sedemikian gawat, adalah peristiwa Istana Presiden yang berulang kali kebanjiran. Bila kerusakan ini tidak kita tanggulangi dengan tuntas, tetapi hanya tambal sulam, maka ada kemungkinan tahun sekian, Jakarta tidak layak untuk dihuni. Ketika ini terjadi maka harga real-estate akan jatuh dan terjadilah bencana ekonomi yang tak terbayangkan besarnya. Ancaman cuaca ekstrem menambah bahaya yang akan kita hadapi didepan. Gangguan cuaca akan semakin buruk. Tidak akan membaik. Jadi ancaman banjir tidak akan berkurang tetapi akan menjadi lebih besar di masa mendatang. Perbaikan dan pembenahan ekologi dan lingkungan Jakarta harus menjadi Prioritas politik dan ekonomi.

Masalah yang kedua adalah sampah. Jakarta sebagai kota metropolis yang berpenduduk lebih dari 14 juta tidak punya solusi soal sampah. Sampah Jakarta hanya dikumpulkan dan dibuang. Ini adalah bom waktu yang kedua. Sampah bukan hanya merusak lingkungan dan menyebabkan banjir, sampah juga meracuni lingkungan berserta manusia lainnya. Sampah bisa menyebabkan wabah penyakit, dan timbunan sampah cenderung menjadi racun yang harus diserap bumi kita.

Jakarta menghasilkan sampah tak kurang dari 6.500 ton perhari. Jumlah ini akan terus naik dan tidak akan berkurang. Konon biaya mengantar sampah ke pembuangan sampah adalah berkisar Rp. 150 ribu perton. Itu belum termasuk biaya gaji supir, tenaga lain, mobil truk dan bensin. Artinya pemerintah DKI Jakarta minimal harus menguras kocek sebesar 240 milyar lebih tiap tahun hanya untuk membuang sampah. Pemerintah DKI Jakarta menghabiskan dana hampir Rp. 800 milyar total setahun hanya untuk sampah.

Teman saya yang mengerti sampah itu, mengatakan masalahnya sampah itu harus dipilah, antara yang organik dan yang tidak organik. Yang organik bisa dijadikan bahan bakar misalnya untuk pembangkit tenaga listrik. Atau diproses untuk menjadi pupuk organik berkualitas tinggi. Yang tidak organik bisa dipilah dan kemudian di daur ulang. Jakarta harus dan wajib untuk segera memiliki solusi sampah yang tuntas untuk 14 juta warganya. Memang sama seperti truk sampah, pabrik pengolahan sampah bisa jadi komoditi politik yang seru juga. Maklum biaya membangun pabrik pengolahan sampah tidak murah, dan bisa trilyunan. Saat ini karena kita tidak memiliki tekhnologinya, maka kita harus mengimpor tekhnologi dan investornya sekalian. Ini yang bikin runyam.

Andaikata kita membangun pabrik sampah dan sampahnya kita gunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik, maka masalah berikutnya adalah berapa biaya listriknya ? Karena di Indonesia distributor listrik tunggal adalah PLN, maka masalah selanjutnya adalah apakah PLN berkenan membeli listrik tersebut. Negosiasi dengan PLN bukanlah masalah yang mudah. Kecuali Menteri BUMN mengeluarkan fatwa agar PLN membuat perusahaan patungan dengan pemerintah daerah diberbagai kota besar dan membuat pembangkit tenaga listrik dari sampah. Kalau ini terjadi, semua bakal jadi pahlawan. Karena sebagian listrik Indonesia adalah listrik hijau yang menggunakan bahan bakar sampah.

Solusi kedua adalah menjadikan sampah organik menjadi pupuk organik berkualitas tinggi. Pemerintah pusat tahun 2014 menganggarkan subsidi pupuk sebesar 18 trilyun rupiah. Andaikata menteri BUMN kembali mengeluarkan fatwa agar perusahaan BUMN yang bergerak dibidang pupuk membuat perusahaan patungan dengan pemerintah daerah untuk membangun pabrik pupuk dari sampah, maka subsisdi 18 trilyun itu bisa dihemat dan petani kita akan mendapatkan pupuk organik berkualitas tinggi, yang tidak akan membahayakan lingkungan. Malah akan membuat gerakan pertanian yang hijau dan terbarukan.

Sampah-sampah yang non organik dapat di daur ulang dan menghasilkan hasil yang tinggi. Seorang sahabat memberikan input, bahwa sampah-sampah yang non-organik bila dikumpulkan bisa dijual dengan harga : kertas - Rp. 1.000/kg, gelas plastik aqua - sekitar Rp. 9.000 per kg, botol plastik minuman - Rp. 6.500 per kg, kardus - Rp. 1.200 per kg, aneka besi - sekitar Rp.2.200 per kg, kaleng minuman almunium - Rp 15.000 per kg dan tembaga bisa mencapai - Rp. 45.000/kg. Tentu saja harga ini tidak pasti. Hanya sebagai indikator belaka. Namun menunjukan bahwa dalam industri daur ulang. Nilai ekonomi sampah jangan dianggap sembarangan.

Barangkali masalah sampah tidak dan belum menjadi perhatian dan prioritas. Saat ini teriakan Jakarta macet lebih nyaring bunyinya daripada masalah sampah. Padahal biaya pembuatan MRT di Jakarta konon bisa menghabiskan dana 16 trilyun. Padahal kalau proyek ini selesai, kita belum mendapat jaminan bahwa Jakarta akan bebas macet. Atau sejauh mana proyek ini membebaskan kita dari kerusuhan dan kepusingan macet lalu lintas. Proyek ini menjadi prioritas karena lebih banyak orang yang stress terhadap macet. Sampah sebenarnya seharusnya mendapatkan prioritas jauh lebih tinggi dari macet. Karena kerusakan ekologi dan ancaman cuaca esktrem jauh lebih berbahaya dari pada macet. Bahaya ini mesti kita perhitungan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline