Lihat ke Halaman Asli

Sampai Kapan Berdemokrasi ?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi itu konsensus. Demokrasi itu suara terbanyak. Maka demokrasi tak mengandaikan perubahan yang radikal. Bukan perubahan yang melahirkan chaos. Demokrasi, yang ditandai dengan pemilu, hanya akan melahirkan orang-orang yang tak mungkin berani meneguhkan apa yang telah dijanjikannya. Masih jelas nyaring di telinga, seorang Jokowi yang hanya akan tunduk pada kehendak rakyat, akan tunduk pada konstitusi, namun kini tak berkutik dengan tekanan yang anti rakyat. Bersama “salam dua jari” yang konon akan menegakkan revolusi mental, kenyataannya tak sanggup bikin sesuatu yang dahsyat. Kebijakan “kerja”nya sama saja dengan sudah-sudah.

Hal itu persis pula dengan Obama yang awal kekuasaannya digadang bakal sanggup menuntaskan konflik di Palestina. Senyatanya sama saja dengan presiden sebelumnya yang tak bisa “kejam” terhadap zionis Yahudi. Sama saja dengan Bush yang tak adil dengan Palestina, sama saja bersikap nyinyir terhadap Hamas. Dan itu terjadi sebagai out put demokrasi. Demokrasi yang mustahil berperilaku ekstrim. Sebab ekstrim itu hanya milik minoritas, padahal demokrasi ada dan hanya untuk mayoritas.

Lantas bagaimana ? Anti demokrasi ? Berarti anti mayoritas. Kembali ke monarki ? Pada dinasti yang tampuk kekuasaannya bergulir turun temurun ? Hehehe....Lonceng zaman telah berpihak. Telah tetapkan pilihan pada demokrasi. Saya dan anda-anda semua merupakan bagian dari mayoritas, entah yang diam saja demi kenyamanan maupun yang sok lantang laiknya aktivis, sama-sama dihentikan oleh jumlah suara yang terbanyak. Yang menerima demokrasi maupun yang menentang. Yang ikut masuk ke bilik suara maupun yang anti nyoblos. Tetap saja dalam pusaran demokrasi. Memang demokrasi mengecewakan, tapi kita tak bisa berkelit darinya.

Bagaimanapun demokrasi itu konsensus. Dan masyarakat diam yang mayoritas tak menghendaki adanya radikalisme. Hidup harmoni yang tanpa keributan. Hidup guyub rukun yang tanpa kekerasan, jadi idaman setiap kita. Akal sehat telah menjelaskan bahwa perubahan mesti radikal, bersifat revolusi. Namun kenyataan sering berjalan dalam harmoni yang tak menyentuh akar masalah. Kenyataan punya hukum yang berlepas dari common sense. Kenyataan tetap jadi milik yang mendambakan tata tentrem, jadi milik yang meneguhkan naluri alias bawaan lahir. Yang revolusi, perubahan yang sampai ke akar-akarnya adalah jenis “perintah”. Naluri kita setuju dengan perintah atau keharusan, namun tak rela untuk jadi laku. Naluri kita sepakat adanya perubahan, namun dalam langkahnya tetap menghendaki adanya kesinambungan yang tak menciderai kebiasaan.

Demokrasi itu konsensus, yang artinya upaya pelanggengan kebiasaan terus menerus. Dulu Soekarno mendapati gelar “pemimpin besar revolusi”, dan Soeharto melanjutkannya dengan sebutan “bapak pembangunan”.  Soekarno sukses menancapkan doktrin demokrasi terpimpin, giliran Soeharto meneruskannya jadi demokrasi Pancasila. Yang mana keduanya tak berbeda. Sama-sama menyifatkan diri sebagai pemimpin yang kharismatik sekaligus otoriter khas raja tempo dulu. Sama-sama mewariskan ideologi tertutup yang anti kritik, anti kebebasan berpendapat. Dan kini sudah lebih dari satu dasawarsa, reformasi digulirkan, namun demokrasi tetap saja. Demokrasi memelihara budaya korupsi, memelihara feodalisme. Berkat demokrasi, korupsi kian meluas dan kian vulgar. Banyak pejabat yang diseret, namun belum ada yang berani menyentuh gurita istana. Keluarga istana tetap bisa melenggang, terbebas dari jeratan bui. Seolah ada ketetapan, “siapa pun yang tersangka korupsi, niscaya akan dipenjarakan, kecuali si dia”.

Memang demokrasi itu suara terbanyak. Suara terbanyak tak sepakat dengan korupsi. Namun mayoritas pula yang menyuburkan perilaku korup, hingga menjadi kebiasaan. Serasa aneh di tengah-tengah masyarakat, sekiranya tanpa gratifikasi. Tanda tali kasih, ucapan terima kasih sebagai imbalan lantaran berhasil meloloskan tender. Pengguna jalan yang melanggar lalu lintas, akan dengan senang hati melepaskan uang sogokan, seraya penegak hukum pun sungkan untuk tak menerimanya. Seakan tak elok jadi orang suci yang tak mempan dengan sogokan. Seolah-olah tidak etis menjadi orang baik sendirian, sebab yang wajar adalah kerja sama dalam ketidakjujuran.

Ohoi...Demokrasi, akan sampai kapan bertahan ? Jawaban yang pasti adalah: entahlah ! Belum ada rumusan yang membeberkan bahwa abad XXI adalah the end of democration. Memang benar, sudah banyak yang menentangnya, namun tak sedikit pula yang mengidamkannya. Menjadi  idaman, sebab demokrasi itu konsensus. Demokrasi itu suara terbanyak. Suara terbanyak, penanda ketiadaan manusia sempurna. Manusia tak sempurna dan mengejar kesempurnaan. Semua umat manusia berhak mengemukakan cita-citanya. Berhak menentukan pilihannya. Dan hal itu ditempuh dengan pemungutan suara. Hasilnya ? Suara terbanyak. Hasilnya adalah konsensus. Yang adalah demokrasi. Pelakunya disebut demokrat. Dan bapak demokrasinya adalah SBY, sebab kini yang jadi ketua umum Partai Demokrat adalah Soesilo Bambang Yudoyono. Nah...kan ???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline