Lihat ke Halaman Asli

Visualisasi Pancasila

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kumbakarna, adik Rahwana, menunjukkan kesetiannya pada Alengka. Ia yang punya kebiasaan tidur lama, bikin prajurit Alengka kesulitan untuk membangunkannya, sebelum maju perang melawan pasukan kera Sri Rama. Dan Kumbakarna mati di medan laga di tangan Laksmana. Kematian Kumbakarna, kematian yang setengah tak diharapkan oleh para bidadari surga. Ya, Kumbakarna, raksasa yang berhati putih, yang bersumpah setia untuk membela Alengka dari ancaman kehancuran. Kumbakarna gugur tidak dalam rangka memihak Rahwana, melainkan Alengka yang nyaris hancur. Kumbakarna selama hidupnya tak bersepakat dengan kebijakan Rahwana, namun ia rela mati demi negeri Alengka. Dalam konteks kita, ia sosok yang “right or wrong is my country.”

Wibisana, adik ketiga dari Rahwana, berbeda dengan Kumbakarna, yang memilih untuk meninggalkan Alengka dan Rahwana. Wibisana melihat ambang kehancuran Alengka akibat dari kesewenang-wenangan sang kakak Rahwana. Menurutnya Rahwana telah bertindak di luar batas kewajaran laiknya sebagai pemimpin/raja. Ia selalu memaksakan kehendak pribadinya dan mengatasnamakan Alengka. Termasuk yang paling naif, ia menculik Sinta, istri Sri Rama, yang menyulut Wibisana marah, tak tahan dan pilih membelot dari Rahwana. Tindakan Rahwana sudah tak bisa ditolerir, dan harus dilawan, kira-kira begitu yang dipikirkan Wibisana, sehingga ia bergabung dengan pasukan Rama. Wibisana mengambil sikap “right is right and wrong is wrong.”

Keduanya sama-sama adik Rahwana. Sama-sama dibesarkan dari kemegahan negeri Alengka. Sama-sama menentang kebijakan Rahwana. Tapi muaranya berbeda. Kumbakarna lebih memilih gugur di tanah airnya , sedang Wibisana berpihak pada “musuh.” Nah, sikap manakah yang benar ? Kisah Ramayana memaparkan keduanya dianggap ksatria, yang berhak surga. Kumbakarna, gugur dan ruhnya langsung menyatu dengan malaikat penghuni surga, persis dengan karna dalam Mahabharata, yang memihak Duryodhana, namun gugur sebagai syahid. Kumbakarna disejajarkan dengan Rama dan Laksmana, pun begitu Karna yang disandingkan dengan Arjuna, bahkan di atasnya. Kecintaan Kumbakarna atas Alengka di atas segalanya bahkan dirinya sendiri akan dikorbankan demi negerinya itu. Kecintaan Kumbakarna yang akhirnya menuntutnya berperang melawan Rama, demi Alengka bukan Rahwana. Sehingga kematiannya pun mengundang decak kagum para bidadari surga, dan merengkuhnya untuk bersemayam di surga. Kecintaan atas tanah airnya lah yang mengangkat derajat Kumbakarna melambung tinggi melampaui sang Kakak Rahwana dan sejajar dengan para ksatria yang suci berdarah putih.

Dalam konteks kini, gambaran sikap Kumbakarna adalah lukisan jiwa nasionalisme. Mencintai tanah air, mencintai negerinya di atas segalanya. Mencintai negeri, yang dalam kondisi sekarang, saya rasa perlu dibangkitkan kembali, dimana aset-aset kekayaan nusantara pelan-pelan menghilang dari genggaman kita. Freeport, bagaimana nasibnya kini ? Tembakau Temanggung, seni budaya Reog, Keris, masihkah jadi milik kita ? Kumbakarna seakan menghardik kita, yang begitu gampang melepas aset-aset itu kepada asing. Kumbakarna seakan memarahi kita yang begitu welas asih dan dermawan, begitu mudah menjual kekayaan tambang bumi pada negeri manca dengan harga murah. Kumbakarna yang di surga itu menangis atas kekonyolan kita yang gampang terbuai dengan rayuan maut asing agar terus mengimpor beras, gula, kedelai, dsb.

Kumbakarna adalah simbol nasionalisme. Simbol “Persatuan Indonesia” yang sila ketiga dalam Pancasila kita itu. Bolehlah kini yang terjadi pada generasi seluler adalah pasca-nasional. Pasca-Nasional lho, bukan anti nasional. Pasca adalah setelah tapi masih terikat dengan yang sebelumnya. Pasca sarjana, setelah sarjana tapi masih sebagai mahasiswa. Demikian pula pasca nasional, telah melampaui jiwa nasionalis, tapi tak meninggalkan autentitisitasnya sebagai anak negeri. Kalau mau mengacu Pancasila, dari tangga ketiga “Persatuan Indonesia” menaik jadi tangga kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Pasca-nasional adalah kemanusiaan, tapi, sekali lagi bukan berarti anti nasional. Mudahnya seperti ini, nasionalisme adalah tangga dasar atau pertama. Tangga kedua adalah kemanusiaan, dan spiritual atau ketuhanan sebagai puncak tangga akhir atau yang ketiga. Urutannya adalah: Nasionalisme – Kemanusiaan – Ketuhanan. Dalam nasionalisme belum ada kemanusiaan dan ketuhanan, baru jiwa nasionalis, cinta tanah air. Dalam kemanusiaan ada jiwa nasionalisme dan kemanusiaan minus ketuhanan. Sementara dalam ketuhanan, terangkum jiwa nasionalis, kemanusiaan, dan ketuhanan sekaligus.

Kemudian kalau kita tengok Pancasila lagi, sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah tauhid, puncak eksistensi yang merangkum sila kedua dan ketiga. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” adalah tangga dasar, jiwa pertama sebagai warga negara. Sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” adalah pasca nasionalisme, nilai universal setelah nasionalisme, yang merangkum jiwa nasionalisme dan kemanusiaan. Sila pertama, sila kedua, dan sila ketiga adalah nilai utama setiap warga, yang hidup di bawah payung demokrasi, sila keempat, untuk menggapai tujuan bersama sila kelima “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.” Sila pertama, kedua, dan ketiga adalah prinsip nilai, atau teknis dasar. Sila keempat merupakan cara atau sarana teknis, dan sila kelima adalah tujuan. Sehingga kloplah sebagai dasar negara atau ideologi yang melatari tingkah polah kita sehari-hari.

Kembali ke pertanyaan, manakah sikap Kumbakarna atau Wibisana yang dibenarkan, mengacu pada falsafah Pancasila, jelas bahwa keduanya benar. Kumbakarna membawa pawarta nilai nasionalisme yang mesti ada terlebih dahulu bagi tiap kita yang menghuni negeri ini. Usai Kumbakarna adalah Wibisana yang mengetengahkan nilai kemanusiaan sebagai pasca nasional yang berpihak pada Rama demi membebaskan Alengka dari angkara murka Rahwana. Kumbakarna visualisasi sila ketiga Pancasila, sementara Wibisana adalah visualisasi sila kedua. Lantas siapa visualisasi sila yang pertama ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline