Lihat ke Halaman Asli

Kepada Siapa Mau Mengadu

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kepada siapa kita bisa mengadu ? Pertanyaan ini memang serasa sederhana, namun entah mengapa hingga kini kita pun kikuk dan tak jelas jawabannya. Seolah sungkan hendak menuding pihak-pihak berwajib yang nyata-nyata tidak beres dalam menunaikan kewajibannya. Dari sisi kita pun tak kalah  jelasnya, kita telah imun dari berita-berita ketidakberesan pejabat pemerintah, pejabat negara. Sudah lazim di telinga tentang tindak penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, dan maling duit negara. Saking imunnya, kita jadi fatalis, pasrah, dan menganggap fenomena itu sebagai bagian ujian dari Tuhan. Saking enegnya dengan perilaku para pemegang otoritas, kita hanya bisa menggerundel. Meneriakkan kemuakan sekeras-kerasnya, namun hanya di hati. Di pendam sendiri.

Entah sabar atau tak peduli, tipis batasannya. Kita pasrah atau tidak kritis terhadap kebijakan dari atas, sulit dibedakan. Sebagai awam, saya merasakan betul, betapa menyakitkan setiap kali mendengar berita tentang perilaku korupsi yang dilakukan oleh pejabat negeri ini. Sudah banting tulang seharian untuk menghidupi kebutuhan keluarga, menyisihkan uang untuk bayar pajak, bayar rekening listrik, tetapi muaranya hanya akan digarong oleh para tikus-tikus kantor, pinjam istilah Iwan Fals dalam salah satu lagu hitsnya. Coba bayangkan ! Betapa menyesakkan perilaku koruptif itu.

Bikin lebih sesak lagi, ketika berita yang ditampilkan di TV adalah adanya kriminalisasi terhadap para komisioner KPK dari pihak Polri. Bagaimana pun, sekali lagi sebagai awam, di antara tiga penegak hukum yang ada: Kejaksaan, Polri, dan KPK, nyata-nyata yang terbukti sanggup menyeret para koruptor ke jeruji penjara hanyalah KPK. Pejabat negeri ini dari mulai para menteri, anggota DPR, hakim agung di MK, dan komjen Polri, yang terbukti terima suap maupun gratifikasi, begitu terendus dan diproses oleh KPK langsung masuk ke tahanan. Publik percaya dengan pejabat negara yang satu ini. Masyarakat menaruh harapan yang besar pada KPK untuk mewujudkan impian negeri yang gemah ripah loh jinawi. Negeri yang baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang aman sentosa, rakyatnya makmur, pejabatnya bersih dan amanah. Harapan itu, oleh masyarakat dititipkan ke KPK, bukan ke Presiden Jokowi yang hanya pintar blusukan dan mengumbar janji. Bukan pula kepada para menterinya yang ternyata tak setangguh sebagaimana awal dilantik. Untung masih ada Bu Susi, yang barangkali mutiara yang sengaja di tanam Tuhan di kabinet kerjanya Jokowi. Untung pula ada Pak Lukman Hakim, sang menteri agama yang toleran dan berjiwa pluralis. Anies Baswedan ? Entahlah ? Masihkah bisa diharapkan dari sosok “hebat” itu ?

Bu Susi, Pak Lukman, saya menganggapnya sebagai mutiara yang dicampakkan Tuhan ke kabinet Jokowi untuk memberi terang, akibat buram zaman ulah para maling dan lemah integritas pejabat. Pada saat kampanye, memang saya percayakan sepenuhnya pada Jokowi-JK. Saya tidak memilih Prabowo, karena di dalam lingkarannya penuh para islamis. Barisan Prabowo adalah para penganjur Islam galak, Islam syariat, Puritan yang cenderung menafikan pluralisme. Sebaliknya dalam tubuh Jokowi, berjejer orang-orang adem yang mengusung Islam Pluralis, sebut saja di sana ada Alwi Shihab, Anies Baswedan, dan Musdah Mulia. Meski yang terakhir itu –maksud saya Musdah Mulia—tak terlibat langsung dalam tim transisi yang bikin blueprint masa depan negara ini. Saat kampanye, Jokowi betul-betul meyakinkan sebagai sosok yang berasal dari bawah dan bakal memperjuangkan aspirasi wong cilik. Berkali-kali, ia menegaskan hanya akan tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat.

Pernyataan “tunduk” itu sempat diputar atau ditayangkan beberapa kali di layar televisi sebagai pengingat buat Jokowi akan janjinya. Seolah terbit kekhawatiran dari para awak media bahwa Jokowi akan melenceng dan pura-pura lupa dengan janjinya. Dan ternyata kini, memang Jokowi tidak pura-pura lupa. Ia benar-benar telah lupa sungguhan dengan sumpah setianya pada kehendak rakyat. Ia lebih memilih kompromi dengan partai pengusung, lebih taat pada gertakan ketua partai. Barisan pluralis yang melingkarinya, kini seakan dibuat melongo tak percaya dengan perubahan sikap Jokowi. Jokowi yang tegas, kini beralih menjadi Jokowi yang lemah dan tak percaya diri menghadapi gesekan para pengagung kepentingan.

Nah, kembali ke pertanyaan, kepada siapa kita akan mengadu ? Kini telah buntu, mengingat di tubuh KPK pun tak segalak seperti saat diisi Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Taufiqurahman Ruki, ketua KPK pertama, diharapkan dapat mengisi kekosongan komisioner, tetapi baru-baru ini malah bikin kesepakatan “barter” dengan Polri. Saya tak mengetahui kebenaran aroma barter tersebut, namun sebagai awam aroma busuk jelas tercium menyengat dan menyakitkan nurani. Publik percaya bahwa Budi Gunawan memang layak tersangka, tapi entah alasan apa tiba-tiba oleh KPK dilimpahkan kasusnya ke Kejaksaan. Malah kini resmi sebagai wakapolri. Publik kaget dengan yang demikian. Ada apa ini ? Ada apa dengan KPK ? Ada apa dengan Ruki ? Dan yang pasti, kemana lagi kita bakal menaruh kepercayaan, setelah berkali-kali kecewa dan tertipu dengan janji-janji. Kepada presiden ? Jelas tak mungkin. Mengatasi kisruh KPK vs Polri saja mesti menunggu desakan publik, yang ujungnya adalah kompromi yang tak memuaskan gelisah rakyat.

Kepada siapa lagi saya akan mengadu ? Kepada siapa lagi saya akan menaruh kepercayaan ? Pada siapa akan menitipkan harapan ? Ah rasanya negeri ini memang sudah tak punya pemerintahan. Sudah tak ada lagi yang namanya presiden, aparat penegak hukum, dan pengayom masyarakat. Yang berlangsung adalah pembegalan dan preman. Yang memiliki kenyamanan hidup adalah yang kuat dan berduit, selain itu merupakan korban.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline