Lihat ke Halaman Asli

Bung Hatta Yang Sederhana

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sederhana, bersahaja, itulah gambaran sosok Bung Hatta, seperti yang dituturkan para putri beliau dalam acara Mata Najwa, Metro TV. Saya masih ingat tayangan ulang Mata Najwa, 15 November 2014, sembari menahan haru dan linangan air mata. Haru, betapa luar biasa sosok itu. Bak cerita dalam epos Mahabharata, jejaka Hatta baru akan menikah, kalau Indonesia sudah merdeka. Sumpah yang menggetarkan, yang tak kalah dahsyatnya dengan sumpah setianya tokoh Bisma. Sumpah yang menunjukkan integritasnya sebagai manusia Indonesia, yang mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan negara. Dan si Bung ini membuktikan ucapannya. Ia baru mempersunting Rahmi, dalam pesta yang sederhana, di Yogya 1946.

Saking kelewat sederhana, Sri Edi Swasono, sang menantu, malu ketika mendapati Bung Hatta, tak bisa beli sepatu yang bagus, dan tak pernah minta pada dirinya untuk dibelikan. Padahal sang menantu ini jelas sanggup membelikan. Hmmm….hanya satu kata yang meluncur, yaitu: luar biasa. Beruntunglah, kita kini yang hidup di kurun alam kemerdekaan, punya tokoh nyata yang full integritasnya. Bersyukur yang tak terkira pada Ilahi Robbi, yang telah menganugerahkan bangsa Indonesia dengan menurunkan manusia berdedikasi, menguasai lima bahasa internasional, dan cerdas. Bung Hatta cerdas, penyuka buku, bahkan buku “alam pemikiran Yunani” adalah mas kawinnya untuk Rahmi, sang bunga Jawa.

Setidaknya untuk saya pribadi, sosok Hatta, telah membuat saya PeDe. Percaya diri dalam menjalani laku hidup sederhana. Hidup yang jauh dari gelimang kemewahan, mobil seri mutakhir, dan deposito yang menyebar ke bank-bank internasional. Percaya diri, bahwa akal budi dan kepiawaian dalam mengakrabi persoalan sosial, ternyata jauh lebih bermartabat ketimbang limpahan harta. Bung Hatta jauh lebih memuliakan buku, daripada sekadar alas kaki, atau sepatu.

Apalagi kini, dimana konsumerisme mengalir deras, hedonisme telah jadi prasyarat pergaulan sosial, maka laku sederhana terasa mewah bahkan langka. Memang gaya hidup sederhana sering diperdengarkan dalam kotbah-kotbah di masjid. Sering jadi menu utama dalam sajian kuliah pagi di TV. Malah kini telah dijadikan ikon kabinet kerja-nya Jokowi-JK, yang gemar blusukan dan nyambangi ke kampung-kampung miskin. Melarang kegiatan rapat dan pelatihan di hotel. Tetap saja, laku hidup sederhana, setidaknya sampai hari ini, masih terasa mahal. Dan semoga, untuk kabinet saat ini bukan sebatas retorika politik, bukan sekadar sajian kuliah agama dan kerohanian. Para pejabat, dan abdi negara serta para wakil rakyat itu, benar-benar mengimplementasikan gaya hidup sederhana. Ustadz-ustadz, para juru moral, yang bak selebritis itu, berani meninggalkan pola hidup mewah, berani tampil natur, apa adanya, dan pancarkan keteladanan. Mereka sanggup menanggalkan pola hidup yang gemar memamerkan simbol-simbol hedonis, istri yang berkulit putih, kerudung modis, kendaraan BMW, dan rumah yang berperabot barang-barang impor.

Kalau pola hidup sederhana itu yang jadi pilihan, terutama bagi para abdi negara dan wakil rakyat, niscaya korupsi tak bakal merajalela. Dengan kebersahajaan, koruptor bakal menghilang dari pergunjingan media. Jeruji penjara bakal sepi dari tapol, dan KPK pun bubar, karena sudah tak dibutuhkan. Mungkinkah ? Sangat mungkin, asalkan bersedia meninggalkan gaya hidup hura-hura, beralih pada pola laku sederhana dan mengutamakan orang banyak diatas kepentingan keluarga. Barangkali susah, lantaran korupsi dan pola hidup mewah sudah mengakar kuat. Meski demikian, tetap saja bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Sebab Bung Hatta pun hingga ajal menjemput, ternyata sanggup menahan diri dari desakan syahwat politik dan harta yang berada sangat dekat di pelupuk mata. Bung Hatta sanggup men-talak dunia, bukan jadi yang utama  dalam pikiran dan perasaannya. Bung Hatta sanggup memunggungi ambisi pribadi, sanggup mengekang keliarannya pada yang serba sesaat, serba dangkal dan konyol.

Karakter Hatta, yang pengabdi, yang setia pada kepentingan umum, berwawasan jauh ke depan, dan mengesampingkan gejolak keinginan sesaat, adalah rekam jejak ideal untuk jadi otokritik bagi generasi kini yang demen selfie, yang malas baca buku tebal. Karakter Hatta, yang tak silau dengan nama besar, dan ambisi untuk selalu yang terdepan, ialah kisah nyata anak manusia yang berani bersikap lantaran bertuhankan pada yang sebenarnya Tuhan. Kini, hampir di segala lini sosial, baik usia maupun kesempatan karir profesi, sadar atau tak sadar telah menjadikan uang, jabatan, karir, dan popularitas sebagai Tuhan. Singkatnya, kesediaan melakoni pola sederhana, adalah modal utama kita untuk ikut andil dalam mengangkat harkat martabat bangsa di mata masyarakat internasional, dan tentu saja pula di hadapan Tuhan.

Allah a’lam bishawab….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline