Lihat ke Halaman Asli

Memang Tidak Gampang

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang tidak gampang. Itu yang kemudian saya rasa, saat menjalani peran sebagai, ayah, sebagai orangtua, buat dua jagoan, Ahimsa dan Rakhe. Si sulung Ahimsa, usia 8 tahun, berarti telah memasuki tahap 7 tahun kedua, bahwa anak adalah “pembantu”. Usia tersebut, anak dalam proses pembelajaran mengenal aturan. Anak sudah bisa kita mintai tolong untuk membantu pekerjaan kita, tentunya tetap dalam kapasitas kemampuannya. Yang bungsu Rakhe, usia 4 tahun, masih berada dalam tahap “raja”, yang menuntut orangtua untuk melayaninya.

Memahami tahap perkembangan anak, jadi prasyarat yang tak bisa dianggap remeh, selagi masih menginginkan anak bakal tumbuh kembang sesuai natur, dan tidak membunuhnya sejak dini. Sebaliknya menafikan tahap perkembangan, seakan kita orangtua, telah memutus jalur perkembangan, bahkan yang ekstrim, telah membunuhnya. Membunuh kemampuannya yang sebenarnya penuh potensi luar biasa. Memangkas dahan kreativitas, yang bisa menjulang tinggi menggapai arakan awan. Imajinasi anak bisa mandul, mampet tak berkembang jika kita salah potong. Keceriaan anak menghilang, jika kita semena-mena memperlakukan aturan yang keluar dari “pakem” perkembangan kepribadian anak.

Memandang bahagia anak dan mensyukuri kehadirannya, musti kita pertahankan. Jangan sampai kecewa menjemput di kemudian hari, lantaran gagal menghikmahi anugerah berharga dari Tuhan itu. Anak adalah anugerah istimewa yang tak tergantikan, meski dengan bekerja seharian penuh 24 jam tanpa istirahat. Tetap saja, anak titipan yang istimewa. Anak memang bukan milik orangtua, bukan milik orang dewasa, melainkan titipan dari Tuhan, yang musti dikembalikan lagi kepada-Nya sebagai manusia utuh. Anak lahir dalam kondisi telanjang, utuh, tanpa bungkusan yang membelenggu, maka sudah sewajarnya, jika dikembalikan dalam kondisi utuh sebaik mungkin demi dirinya sendiri.

Kita yang orangtua, setidaknya saya, apakah telah bertindak dengan tepat dalam menyuapi nilai pada anak-anak ? Selama puluhan hari, apakah yang kita hadirkan berupa limpahan kesempatan yang memekarkan kediriannya, atau malah sebaliknya, justru menganiaya, melawan kodrat anak ? Apakah daya-daya eksplorasi dan kreativitas anak, betul-betul telah kita hargai, atau malah kita kurung ? Barangkali dunia persekolahan di negeri ini belum 100 %, mendukung tahap perkembangan anak. Dan saya rasa, kita tidak usah banyak menuntut pada Anies Baswedan, sang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,  agar secara radikal membongkar sistem pendidikan yang kadung memasung mata hati dan daya “kenakalan” peserta didik. Tidak usah ! Hanya akan buang energi, sedangkan anak-anak kita akan terus merangkak tambah usia, tambah dewasa. Akan lebih tepat, kita dandani, kita benahi diri sendiri saja, supaya sanggup memancarkan keteladanan bagi anak-anak. Sebagai orangtua, kita sanggup jadi pemandu wisata, menunjukkan peta masalah dan solusi, serta jadi teman karib curhat anak-anak.

Anak-anak itu yang serba asyik, dinamis, nakal, yang terus meliarkan daya imajinasi, hakikatnya adalah kawan seiring kita dalam menempuh perjalanan menuju Tuhan. Kalau dalam persekolahan, anak-anak sudah lelah, lantaran disuruh tertib rapi, “sopan” jadi penurut, dan tidak boleh berbeda, maka rumah musti jadi taman firdausnya. Di rumah, anak-anak tidak dibebani lagi dengan banyak aturan yang bakal mengerdilkan keingintahuannya. Di rumah, anak-anak bebas menghirup udara segar, bebas mengembangkan daya eksplorasi dan eksperimen tanpa kekang. Rumah, bukan lagi tempat anak-anak untuk terus mengalah pada cita-cita orangtua. Rumah, bukan lagi penjara, dimana anak-anak musti jinak, tidak boleh bertanya, atau musti “rukun” dan selaras dengan keinginan orang dewasa. Pendek kata, di rumah, anak bebas memberontak, melampiaskan frustasi, dan menghamburkan uneg-uneg. Sedangkan kita, sekali lagi, jadi kawan karib anak-anak dalam mengenali kedirian.

Kodrat anak ialah serba mencari, serba bertanya, serba pingin mencoba. Alangkah naifnya, sebagai orangtua, bukannya meluaskan kesempatan anak sehingga menjadi anak yang sesungguhnya anak. Sungguh ironis, kita ingin disebut sebagai orangtua sungguh, namun justru malu, ketika melihat anak-anak itu suka corat-coret tembok, main pasir dan lumpur, serta membuat mobil-mobilan sendiri dari barang buangan di tong sampah. Padahal justru itu yang sesungguhnya anak. Kita malah bangga, kalau anak-anak itu berlaku sopan, tidak membantah, dan serba menurut atas setiap perintah. Padahal yang demikian, anak-anak sedang pura-pura. Hmmm….ironi kan ?

Memang tidak gampang. Tapi juga tidak sesulit yang kita bayangkan, selagi kita siap berbeda dengan keumuman. Tidak susah, selagi kita siap dicemooh, dicibir, dianggap nganeh-nganehi, dinilai tak bertanggung jawab, dan sebagainya. Nah, bagaimana ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline