Lihat ke Halaman Asli

Kafabihi Chamzawi

Adil Sejak dalam pikiran

Filosofi Rindu: Aku, Kamu, dan, Corona

Diperbarui: 4 April 2020   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Ditulis Oleh : Kafabihi

Mahasiswa Ilmu kelautan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Kepri

"seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan" - Mas Pram  

Puncak kerinduan manusia saat ini adalah ketika antar manusia tidak lagi saling bertemu, tidak lagi saling berjabat tangan, ngobrol-ngobrol bareng, ngopi bareng, sampai kerja bareng. Semua manusia merindukan ini dan berpikir kapan pandemi ini bisa berakhir dan pergi, udah gitu bentar lagi mau masuk Bulan Ramadhan lagi. Yah, kita harus tetap ikhtiar dan tawakal.

Pada dasarnya, ketika kita berbicara tentang rindu. Rindu itu apa sih ?. Apa yang menyebabkan orang rindu ?. Rindu seringkali dianggap suatu hal yang tak tersentuh dalam suatu penelitian. Sifatnya absurd, abstark, dan kadang menjadi hal yang sepele tapi cukup sering dirasakan. Dan nyatanya itu pedalaman karaketer manusia itu sendiri dalam wujud kesadaran kita dalam menyayangi antar makhluk.

Rindu diciptakan dalam hati dengan tegangan frekuensi tingkat rendah, tapi bisa menghasilkan dentuman yang bisa mengubah kondisi individu. Bahkan, ketika kita ingin meningkatkan frekuensi. Itu bisa menciptakan alur emosi yang tidak perlu. Dan semua itu berakar dari harapan kita. Sebuah harapan yang menuju pada keinginan semua orang, seperti, kita selalu bersama dalam kehangatan dan persaudaraan. 

Berbicara soal rindu ada beberapa studi khusus dalam alur transformatif pola pikir kita dalam menyikapinya. Dengan harapan tulisan ini bisa sedikit memberikan stimulus positif terhadap masyarakat yang masi takut dan khawatir akibat pandemi COVID-19 ini.

Rindu dalam perspektif Filosofi Stoicisme

Banyak orang yang sudah menyusun hidupnya kedepan, memiliki wacana kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu. Hingga pada akhirnya pandemi yang seharusnya tidak kita prediksikan dari awal muncul dihadapan kita. 

Datangnya pandemi ini membuat kita lupa, kita lupa kalau kita tidak siap. Kita tidak siap untuk mengatasi kesedihan yang awalnya kita harapkan. ketika apa yang kita susun dan kita rencanakan tidak berjalan dengan baik. Sehingga ekspetasi berbanding terbalik dengan realita, dan akhirnya membuat semua orang panik dengan kejadian skala global ini. 

Nah, kembali kepada kepanikan dan ketakutan tadi. Itu semua berasal dari hasil ekspetasi kita yang berubah menjadi emosi. Jadi, ekspetasi itu sebenarnya berpengaruh sekali terhadap emosi kita dan juga bisa membunuh kebahagiaan. Apalagi, kita mempunyai rasa kesal kepada sebuah virus yang gak keliatan. Karena ini lah yang terjadi, ekspetasi itu bias membunuh kebahagiaan seseorang dan membuat jutaan manusia panik dengan hal ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline