Lihat ke Halaman Asli

kaekaha

TERVERIFIKASI

Best in Citizen Journalism 2020

Cerita Pak De tentang Kaghati Kolope dan Itik Alabio yang Membuatku Jatuh Cinta

Diperbarui: 2 November 2024   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaghati Kolope Layang-layang Purba nan unuk dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara | turgo.id

"Saktinya" Pak De

Dulu, sewaktu duduk di bangku SD alias sekolah dasar di era 80-an, saya mempunyai guru pelajaran IPS atau ilmu pengetahuan sosial yang menurut kami cukup sakti mandraguna hingga membuat kami terkagum-kagum! Namanya Pak Yitno atau lengkapnya Suyitno, sebuah nama yang Njawani banget, yang menurut empunya nama berasal dari bahasa Sansekerta yang konon maknanya adalah waspada atau bisa juga hati-hati.

Uniknya, alih-alih dipanggil dengan Pak guru atau Pak Yitno selayaknya keumuman yang berlaku di kampung-kapung kami di seputaran Timur Laut kaki Gunung Lawu di ujung barat Jawa Timur, beliau malah meminta kami semua, murid-muridnya untuk memanggil beliau dengan panggilan Pak De! Unik dan nyentrik bukan, Pak Guru eh, Pak De yang satu ini?

Eh, tahu istilah panggilan Pak De kan?

Panggilan Pak De atau versi lainnya adalah Pak Puh merupakan sapaan atau panggilan khas ala masyarakat Suku Jawa yang secara umum ditujukan untuk orang yang dituakan atau dihormati, sedang secara khusus atau secara leksikal biasanya dipakai untuk menyapa atau memanggil saudara lebih tua (kakak) dari bapak atau ibu. Ini sama dengan sapaan/panggilan Julak dalam tradisi masyarakat Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Masih ingat nggak dengan Kompasianer Julak Ikhlas?

Bedanya, kalau Pak De merupakan akronim dari frasa Bapak Gede, maka Pak Puh merupakan akronim dari frasa Bapak Sepuh yang secara leksikal maknanya relatif sama, yaitu sama-sama bermakna lebih besar/tua.

Cantikdan Uniknanya Rumah Adat Minahasa yang Bisa Dipindah-pindah | @kaekaha

Salah satu "kesaktian" Pak De yang paling sering kami saksikan dan dengarkan dengan mata dan telinga kami sendiri adalah terkait pengakuannya yang sampai di usia senjanya baru merasakan perjalanan terjauh (dengan kereta api) sampai ke Stasiun Jebres di Solo, Jawa Tengah yang berjarak sekitar 100-an km dan Stasiun Semut atau Stasiun Kota di Surabaya yang berjarak hampir 200-an km. Saktinya dimana?

Baca Juga Yuk! Diaspora "Gula Gending-Lombok", Melintas Negeri untuk Eksistensi 

Hari-hari yang kami lalui bersama Pak De di dalam maupun diluar kelas selalu penuh warna. Setiap hari, kami serasa diajak keliling Indonesia untuk menikmati apa saja, terutama cerita kekayaan dan keindahan alam, juga seni dan budaya nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Inilah yang kami maksud sebagai sisi "saktinya" Pak De alias Pak Suyitno, guru IPS kami semasa SD itu! Bagaimana tidak!? Bagaimana bisa, orang setua beliau yang mengaku belum pernah kemana-mana, bisa bercerita betapa kaya dan indahnya alam dan budaya nusantara secara detail, baik dan presisi  (setidaknya untuk ukuran alam fikiran anak SD, murid-murid beliau saat itu di tahun 80-an). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline