Jauh sebelum Kesultanan Banjar berdiri di abad ke-16, bahkan sebelum kerajaan Nagara Dipa dan Kerajaan Daha cikal bakalnya ada, masyarakat suku Ma'anyan, salah satu sub suku Dayak, telah mempunyai peradaban yang cukup maju berikut tata pemerintahan sendiri yang kelak dikenal dalam sejarah sebagai Kerajaan Nan sarunai.
Sayang, kerajaan yang eksis sejak jaman prasejarah hingga sekitar abad ke-14 di Pulau Kalimantan ini akhirnya bubar setelah diluluh lantakkan oleh serangan armada Majapahit, hingga masyarakat suku Ma'anyan akhirnya terdiaspora.
Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Suku Ma'anyan sendiri, pasca terdiaspora ini, munculah tokoh legendaris Labai Lamiah, seorang mualaf sekaligus mubaligh atau pendakwah asli putra Dayak Ma'anyan pertama yang berdakwah di seputaran wilayah Nagara yang sekarang masuk ke wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Dari dakwah Labai Lamiah inilah masyarakat Suku Ma'anyan, khususnya yang tinggal di seputaran Banua Lawas atau sekarang dikenal sebagai kawasan Pasar Arba, tidak jauh dari Kecamatan Kalua, Kabupaten Tabalong akhirnya secara mayoritas memeluk agama Islam.
Dalam perjalanannya, karena orang-orang Ma'anyan muslim ini memerlukan tempat ibadah untuk melaksanakan shalat 5 waktu, maka akhirnya Balai Adat orang Ma'anyan di kawasan ini dialih fungsikan menjadi masjid yang sampai sekarang masih ada dan dikenal sebagai masjid pusaka Banua lawas.
Orang-orang Ma'anyan muslim inilah yang kelak disebut hakey oleh saudara-saudara mereka, masyarakat Ma'anyan yang masih memeluk keyakinan lama mereka.
Asal-usul sebutan hakey yang juga disematkan kepada Orang-orang Islam yang menjadi utusan dari Kesultanan Banjar dalam upacara Ijambe, upacara kematian khas Suku Ma'anyan juga cukup unik lho!
Awalnya, para utusan yang beragama Islam ini, dengan sopan menolak untuk menyantap hidangan tradisional yang disajikan oleh tuan rumah yang sebagian besar memang berbahan daging babi dan juga unggas yang sudah pasti tidak disembelih sesuai tuntunan dalam Islam, sehingga orang Islam tetap dilarang untuk memakannya.
Selain itu, melalui ketua utusan, mereka juga menjelaskan secara detail larangan dari syariat Islam untuk ikut menikmati sajian adat tersebut.