Mahkamah Konstitusi Sehat, Konstitusi Kuat
Sejak lahir pada 13 Agustus 2003 sebagai “anak kandung” reformasi yang dirasakan paling aktual hingga saat ini, dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) juga mendapatkan beberapa “amanah” yang sepertinya akan selalu aktual, diantaranya yaitu melakukan pengujian undang-undang, memutus sengketa kewenangan kelembagaan negara, memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang totalnya sampai saat ini telah lebih dari 3500 putusan.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
Luar biasanya, masih dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menyebut peradilan MKRI merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir. Artinya, setelah diputuskan, putusan MKRI bisa langsung dilaksanakan, karena setelahnya tidak ada lagi forum peradilan yang bisa ditempuh. Sehingga, putusan MK juga tidak bisa dan tidak ada peluang lagi untuk dilakukan upaya hukum selanjutnya.
Begitu pula penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011 menyebutkan bahwa putusan MKRI langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dan tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh setelahnya. Sifat final putusan MKRI juga mencakup kekuatan hukum mengikat (final and binding). Ini "keistimewaan bawaan" yang hanya dimiliki Mahkamah Konstitusi.
Dari “fakta” tugas kewenangan yang melekat pada MKRI diatas, kita bisa melihat betapa krusialnya peran MKRI dalam mengawal konstitusi kita. Sedangkan kita semua juga memahami, konstitusi sebagai titik klimaks perjuangan bangsa Indonesia sekaligus karya agung para pendiri bangsa, pada dasarnya merupakan “pondasi” sekaligus perekat keberagaman dalam rumah besar bernama Indonesia! Artinya, dengan MKRI yang kuat dan tangguh, kita akan mempunyai “pondasi” konstitusi yang kuat dan marwahnya selalu terjaga dengan baik.
Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam "rumah besar" bernama Indonesia yang terus bergerak dan bertransformasi dari waktu-ke waktu di tengah-tengah kemajemukan dan keberagaman yang “diatas rata-rata”, jelas memerlukan “pondasi” dengan struktur yang kuat dan kokoh, berupa sebentuk kristalisasi nilai-nilai luhur kebangsaan yang kita sebut sebagai konstitusi.
Karenanya, selain memerlukan komitmen semua elemen bangsa dan negara untuk sama-sama merawat dan menjaga "pondasi" ini, maka MKRI yang diberi tugas khusus menjadi "pengawal" konstitusi wajib terus menjaga performa terbaiknya, harus selalu sehat dan kuat! Sehingga tidak mudah "masuk angin!"
Baik sehat dan kuat! secara kelembagaan, maupun sehat secara fisik, psikis dan juga mental dari individu hakim-hakimnya. Untuk sehat dan kuat secara kelembagaan, sepertinya keistimewaan pada hasil putusan sidang MKRI yang bersifat "final and binding" bisa memberikan gambaran betapa hebat, sehat dan kuatnya MKRI. Sampai di titik ini, putusan MKRI selayaknya putusan Tuhan lho! Nggak bisa di apa-apain lagi.
Lantas bagaimana dengan sehat dan kuat secara individu!? Diakui atau tidak, individu, person atau apapun namanya, inilah titik lemah dalam semua sistem manajerial organisasi di sekitar kita, termasuk di dunia peradilan kita dan sepertinya juga di masyarakat dunia lainnya. Untuk itulah, sebagai filter bagi calon anggota MKRI, UUD 1945 pasal 24C ayat (5) menyebut syarat menjadi hakim MKRI, yaitu harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan; serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Sudah cukup?